"Parumu makin parah, To." Nada suara Jimin penuh kekhawatiran. "Kamu masih batuk terus? Udah ke Puskesmas?"
Santo tersenyum kecut. "Udah sering, Min. Tapi obatnya cuma bertahan sebentar. Kalau udah habis, ya... begini lagi." Ia terdiam sejenak, kemudian menunduk sambil menekan dada yang terasa sesak. "Nggak ada uang buat beli lagi."
Jimin menatap temannya dengan mata penuh iba. "Aku bawain susu. Katanya bagus buat paru-paru. Jangan minum kopi terus."
"Ah, susu. Rasanya nggak ada yang bisa ngalahin pahitnya kopi, Min." Santo tertawa kecil, tapi batuk keras segera menyelanya. Ia memejamkan mata, mengatur napas yang tersengal-sengal. "Hidup itu pahit. Kalau nggak ditemani kopi dan rokok, aku bisa gila."
Jimin mendekat, duduk di bangku kayu yang reyot. "Tapi rokok itu yang bikin kamu seperti ini. Sudah berapa kali dokter bilang paru-parumu rusak gara-gara kebiasaan itu."
Santo membuka mata, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. "Apa kamu pikir aku nggak tahu? Aku sadar, Min. Tapi kadang... kalau aku berhenti ngerokok, kepala rasanya penuh. Semua masalah datang sekaligus. Dan di sini..." Ia menunjuk kepalanya, "jadi penjara yang nggak bisa aku keluarin diri."
Jimin menghela napas panjang. Ia tahu bahwa bicara soal bahaya rokok pada Santo seperti mencoba menahan air bah dengan tangan kosong. Namun, kali ini ia tak ingin menyerah.
"To," katanya lembut, "ingat nggak, waktu kita kecil dulu, kamu yang selalu bilang nggak mau hidup seperti orang di gang ini. Kamu yang paling semangat bicara tentang masa depan. Katamu, mau punya rumah besar, keluar dari sini, bikin keluarga bahagia."
"Semua itu mimpi, Min," Santo memotong dengan suara parau. "Realita menampar aku keras-keras. Kerja apa pun aku ambil. Tapi uang cuma cukup buat bertahan hidup. Apa yang bisa aku harapkan dari kehidupan kayak begini?" Ia tertawa lagi, getir. "Mimpi-mimpi itu udah mati, Min. Udah lama mati."
Jimin menunduk. Kata-kata Santo menusuk hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya tercekat. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, pelan namun mencekam.
"To," Jimin akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan, "Hidup ini memang susah. Tapi Allah melarang kita menyerah, apalagi menghancurkan diri sendiri. Kamu ingat firman-Nya? _'Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.' (QS. An-Nisa' 4:29)_.
Kita ini ciptaan-Nya, amanah yang harus kita jaga."