Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Bayang-Bayang di Balik Gedung Tinggi

19 Januari 2025   14:53 Diperbarui: 19 Januari 2025   14:53 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Cerpen  |   Bayang-bayang di Balik Gedung Tinggi

DikToko
(Soetiyastoko)

Langit Jakarta mulai berubah warna. Langit yang nyaris tak pernah terlihat,  kecuali bagi yang mau tengadah di tempat  itu.

Begitu pun jingga yang mesra memeluk cakrawala, tak terlihat oleh mata, kekumuhan itu hanya menyisakan bayangan gedung-gedung yang sombong. Pencakar langit yang menjulang kokoh, menatap dingin ke bawah seolah tak peduli.

Di sela-sela beton dan kaca, terselip lorong-lorong sempit tempat kehidupan berbeda bergulir --- kampung kumuh srperti kerakap tumbuh di batu. Hunian ala kadarnya yang seolah enggan berdiri di balik gemerlap kota.

Lorong itu penuh sesak dengan rumah-rumah petak yang berdempetan seperti kotak-kotak sempit di rak usang, dindingnya penuh bercak lembap, dan atap seng yang berkarat seolah menunggu runtuh.

Di salah satu petakan kecil, Santo terbaring di kasur lusuh yang nyaris rata dengan lantai. Nafasnya berat, batuk berkepanjangan mengguncang tubuhnya yang kurus. Mata cekungnya memandang langit-langit yang penuh sarang laba-laba.

Tiba-tiba suara ketukan mengusik keheningan.
"Santo, ini aku, Jimin."

Tanpa menunggu jawaban, Jimin mendorong pintu yang berderit. Bau pengap segera menyerbu hidungnya, bercampur dengan aroma rokok yang pekat. Ia menatap Santo yang mencoba duduk, tapi tubuh lemah itu hanya mampu bersandar di dinding.

"Masuk, Min. Jangan lupa tutup pintunya, nanti nyamuk masuk tambah banyak."

Jimin melangkah masuk, meletakkan kantong plastik berisi jeruk dan susu di meja kecil. Matanya menyapu kamar yang pengap itu --- ventilasi hampir tertutup debu, kipas angin tua berdiri di sudut, tak berdaya melawan hawa panas yang menyesakkan.

"Parumu makin parah, To." Nada suara Jimin penuh kekhawatiran. "Kamu masih batuk terus? Udah ke Puskesmas?"

Santo tersenyum kecut. "Udah sering, Min. Tapi obatnya cuma bertahan sebentar. Kalau udah habis, ya... begini lagi." Ia terdiam sejenak, kemudian menunduk sambil menekan dada yang terasa sesak. "Nggak ada uang buat beli lagi."

Jimin menatap temannya dengan mata penuh iba. "Aku bawain susu. Katanya bagus buat paru-paru. Jangan minum kopi terus."

"Ah, susu. Rasanya nggak ada yang bisa ngalahin pahitnya kopi, Min." Santo tertawa kecil, tapi batuk keras segera menyelanya. Ia memejamkan mata, mengatur napas yang tersengal-sengal. "Hidup itu pahit. Kalau nggak ditemani kopi dan rokok, aku bisa gila."

Jimin mendekat, duduk di bangku kayu yang reyot. "Tapi rokok itu yang bikin kamu seperti ini. Sudah berapa kali dokter bilang paru-parumu rusak gara-gara kebiasaan itu."

Santo membuka mata, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. "Apa kamu pikir aku nggak tahu? Aku sadar, Min. Tapi kadang... kalau aku berhenti ngerokok, kepala rasanya penuh. Semua masalah datang sekaligus. Dan di sini..." Ia menunjuk kepalanya, "jadi penjara yang nggak bisa aku keluarin diri."

Jimin menghela napas panjang. Ia tahu bahwa bicara soal bahaya rokok pada Santo seperti mencoba menahan air bah dengan tangan kosong. Namun, kali ini ia tak ingin menyerah.

"To," katanya lembut, "ingat nggak, waktu kita kecil dulu, kamu yang selalu bilang nggak mau hidup seperti orang di gang ini. Kamu yang paling semangat bicara tentang masa depan. Katamu, mau punya rumah besar, keluar dari sini, bikin keluarga bahagia."

"Semua itu mimpi, Min," Santo memotong dengan suara parau. "Realita menampar aku keras-keras. Kerja apa pun aku ambil. Tapi uang cuma cukup buat bertahan hidup. Apa yang bisa aku harapkan dari kehidupan kayak begini?" Ia tertawa lagi, getir. "Mimpi-mimpi itu udah mati, Min. Udah lama mati."

Jimin menunduk. Kata-kata Santo menusuk hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya tercekat. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, pelan namun mencekam.

"To," Jimin akhirnya berbicara, suaranya rendah namun penuh tekanan, "Hidup ini memang susah. Tapi Allah melarang kita menyerah, apalagi menghancurkan diri sendiri. Kamu ingat firman-Nya? _'Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.' (QS. An-Nisa' 4:29)_.
Kita ini ciptaan-Nya, amanah yang harus kita jaga."

Santo tak menjawab. Matanya berkaca-kaca.

"Rasulullah bersabda," lanjut Jimin dengan suara bergetar, "'Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.' Segala yang bikin kita lupa diri itu berbahaya, To. Termasuk rokok. Jangan biarkan masalah bikin kamu hancur pelan-pelan. Kamu masih punya kesempatan buat berubah."

Air mata Santo akhirnya jatuh. Ia mengangkat wajah, menatap Jimin dengan pandangan yang berbeda --- seolah baru menyadari kegelapan yang selama ini menyelimutinya.

"Min... aku takut. Takut terlambat."  Santo tiba-tiba ingat peristiwa di SMP dulu; ayahnya dipanggil Kepala Sekolah  karena nunggak bayar SPP. Padahal uang-nya sudah dihabiskannya untuk beli rokok. "Astaqfirrullah ..."  gumamnya.

"Tidak ada kata terlambat kalau kamu mau berusaha. Ayo kita mulai sedikit demi sedikit. Aku bakal bantu. Kamu nggak sendirian."

Angin lembut masuk lewat jendela yang terbuka setengah. Suara klakson dari jalan raya yang sibuk terdengar jauh, seperti nyanyian kota yang tak pernah tidur. Di dalam kamar sempit itu, antara doa dan air mata, dua sahabat saling berbagi harapan dalam kesunyian yang penuh makna.

***

*Kesimpulan*

Kisah ini menggambarkan perjuangan hidup di tempat yang sering terlupakan --- kawasan kumuh di balik kemewahan kota.

Di sana, banyak orang terjebak dalam kebiasaan buruk sebagai pelarian dari beban hidup.
Namun, di balik setiap kesulitan, selalu ada jalan untuk kembali dan berubah, terutama dengan dukungan dari mereka yang peduli.

*Saran*

Merusak tubuh dengan kebiasaan buruk seperti merokok bertentangan dengan ajaran agama. Allah berfirman, _"Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."_ (QS. An-Nisa' 4:29).

Rasulullah juga memperingatkan bahaya segala hal yang memabukkan dan merusak serta  menjadi ketagihan.

Menjaga kesehatan adalah wujud syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah.

Mari berusaha menjaga amanah ini dengan sebaik-baiknya, karena setiap upaya kecil untuk memperbaiki diri adalah langkah menuju kebahagiaan sejati.

_______

Pagedangan, BSD, Kab.Tangerang, Jumat, 10/01/2025 00:34:11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun