Firman tertegun. Dia menunduk, melihat sandal usangnya yang sudah penuh jahitan. "Pak Haji, ini sandal saya. Sudah lama saya pakai. Lihat ini, ada bekas jahitan reparasi."
Namun, Bruno tidak percaya. "Omong kosong! Anak muda zaman sekarang, hafal Al-Qur'an bukan berarti bebas dari dosa. Kamu pikir karena sering jadi imam, kamu bisa curi-curi begitu saja?"
Firman menarik napas panjang. "Pak Haji, saya tidak pernah mencuri. Kalau Bapak tidak percaya, lihat sendiri. Jahitannya jelas."
Hasan mencoba menengahi. "Pak Haji, sabar dulu. Jangan langsung menuduh. Firman ini anak baik. Saya yakin dia nggak mungkin berbuat begitu."
Namun, Bruno tak peduli. "Hasan, kamu ini jangan membela yang salah. Sandal itu baru saya beli, dan modelnya sama persis. Ini bukan masalah kecil!"
Firman melepas sandalnya dan menyerahkannya kepada Bruno. "Silakan periksa sendiri, Pak Haji. Kalau ini benar sandal Bapak, saya akan minta maaf."
Bruno memeriksa sandal itu. Bekas jahitan reparasi jelas terlihat di bagian belakang. Warnanya pun sudah pudar. Bruno terdiam, wajahnya berubah dari merah menjadi pucat. Namun, gengsi yang terlalu besar membuatnya sulit mengucapkan kata maaf.
"Yah... mungkin ada yang salah ambil. Tapi tetap saja, sandal saya hilang! Ini bukan soal remeh!" katanya sambil membalikkan badan.
Firman tersenyum kecil, lalu mengenakan kembali sandalnya. Hasan menggeleng pelan, dan Amir hanya menghela napas panjang.
***
Bruno yang amat  kesal duduk di pojok masjid, mengusap dagunya dengan gelisah. Di sudut lain, Amir mulai menyapu lantai, Hasan duduk bersandar, sementara Firman berdiri di depan pintu, menikmati sisa embun pagi.