Cerpen  |  Sandal, Bruno Salim, dan Misteri Waktu
DikToko
(Soetiyastoko)
Masjid Al-Barokah masih berembun. Subuh baru saja usai, dan udara pagi terasa menusuk tulang. Jamaah mulai bubar, meninggalkan jejak langkah di lantai dingin. Diiringi suara kicau burung liar bersahutan di pohon Seri.
Firman, pemuda hafiz Qur'an yang sering menjadi imam, berdiri di dekat pintu masjid sambil melipat sajadahnya. Suaranya tadi menggema indah, membuat siapa pun yang mendengar terhanyut.
Hasan, sopir taksi online yang hidupnya sering diwarnai jalanan macet, sibuk menggulung sarungnya. Tak jauh dari sana, Amir si tukang sampah, berdiri sejenak di sudut, seperti biasa, menatap mihrab sebelum kembali memulai rutinitasnya yang sederhana.
Namun, pagi itu tak berlalu tenang.
Haji Bruno Salim ---satu-satunya orang di kampung itu yang bergelar haji--- berdiri di dekat rak sandal dengan wajah merah padam. Sandalnya, yang baru saja dibelinya dua hari lalu, hilang dari tempat semula.
"Astaghfirullah! Sandal saya hilang!" suaranya menggelegar.
Bruno Salim bukan orang sembarangan. Gelar S2 yang disandangnya dari universitas ternama di kota besar membuatnya dihormati.
Apalagi, ia bekerja di kantor penelitian dan sering memamerkan wawasan luasnya kepada warga kampung. Bruno Salim punya satu aturan yang ia tegaskan ke semua orang: dia harus dipanggil "Pak Haji."
"Tidak semua orang diberi hidayah untuk pergi ke tanah suci," katanya setiap kali ada yang mencoba memanggilnya hanya dengan nama.
Firman menoleh dari pintu masjid. Hasan yang sedang bersandar di dekat tembok juga ikut mendekat. Amir, yang hendak mengambil sapu di pojok dekat tempat wudhu, berhenti sejenak.
Bruno Salim, sambil berkacak pinggang, melayangkan pandangannya ke setiap jamaah yang tersisa. Ketika matanya menangkap Firman yang sedang memakai sandal usang, wajahnya berubah serius.
"Firman!" Bruno menunjuk tajam. "Itu sandal saya, kan? Persis sama!"