Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Fatherless Bias Perspektif Keluarga di Antara Bunga

12 Oktober 2024   22:18 Diperbarui: 12 Oktober 2024   22:25 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Fatherless Bias Perspektif Keluarga di Antara Bunga

DikToko
(Soetiyastok
o)

Di tengah hamparan bunga beraneka warna di Taman Bunga Nusantara, ada ornamen dua burung kembar yang amat tinggi dan besar. Terbuat dari rangka besi yang disembunyikan  daun daun tanaman hias yang tumbuh dalam pot di sekujur rangkanya.

Terlihat anggun dan indah, berdiri kokoh sebagai landmark kawasan taman wisata ini.

Enam sosok duduk di salah satu gazebo kayu, menghadap kebun mawar yang sedang mekar. Udara Cipanas terasa semakin menusuk, membuat semua orang mengencangkan jaket mereka.

Dari kejauhan, terdengar suara gemericik air mancur  lembut. Bunyi air berjatuhan dari umpak-umpakan tangga air. Menyatu dengan keharuman bunga melati yang terbawa angin.

"Masih inget gak, dulu pas kita ke sini buat study tour?" Fetty membuka percakapan sambil mengusap tangannya yang mulai dingin. "Waktu itu kita tuh sok-sokan ngerti bunga, padahal tujuannya cuma mau ngecengin anak SMA lain."

Jamal tertawa. "Gue sih inget banget. Niat banget tuh pake kamera, padahal ujung-ujungnya yang diambil foto temen sendiri semua."

Myrna menepuk pundak Jamal sambil tersenyum. "Nah, itu. Kalo sekarang, kita ke sini buat foto bunga beneran."

"Dan sambil ngeluh soal umur," tambah Susan yang duduk di sudut, menghadap kebun tulip. "Bener kan, Fet? Udara ini bukannya makin dingin, tapi kita yang makin tua. Haa ha haaa ..."

Percakapan mereka terhenti sejenak saat Rynda muncul dengan segelas kopi hangat dari kafe dekat pintu masuk taman. Seraya berucap, "Ngomong-ngomong soal tua, aku belakangan sering denger nih, Indonesia disebut sebagai negara 'fatherless'. Menurut kalian gimana?"

"Entar dulu, gua kagak paham nih. 'Fatherless' itu kuman atau virus nih ?"  Sahut Myrna.

Seketika suasana berubah lebih serius, meski candaan tetap terselip di tiap kalimat mereka.

"Fatherless adalah istilah yang menggambarkan kondisi ketika 'peran ayah' kurang hadir dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun emosional. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah father hunger. Lapar akan sentuhan ayah", jelas Rhynda.

"Fatherless dapat menjadi masalah sosial yang semakin meningkat di masyarakat. Beberapa faktor yang menyebabkan fenomena ini di antaranya: Perceraian, Masalah internal pada orang tua, Kematian ayah, Ayah yang bekerja di luar daerah tempat tinggal", sambung Rhynda.

 
"Dampak negatif yang dapat terjadi pada anak yang mengalami fatherless di antaranya:

Rendahnya harga diri. Rasa marah dan malu, Kecemburuan, kedukaan, dan kesepian.
Termasuk rendahnya inisiatif dan kontrol diri.
Ketidakstabilan emosional. Kesulitan membangun identitas. Risiko terkena perilaku yang merugikan.
Semua itu menjadi tantangan dalam membangun hubungan yang sehat dengan pria di masa depan" , Rhynda 'mengakhiri' seminarnya.  

Dia heran sendiri, hafal kalimat-kalimat Psikolog yang ditontonnya di televisi.

Susan langsung  bereaksi dengan ekspresi bingung.

"Fatherless? Lebay, nggak sih? Bapak-bapak tuh ada kok di rumah, tapi tetep dibilang fatherless."

"Bentar, Susan." Widdy menepuk tangan Susan.

"Fatherless itu maksudnya nggak selalu secara fisik atau biologis gak ada. Lebih ke 'ke nggak hadir' secara emosional atau fisik tak bersentuhan. Ada di rumah, tapi kayak nggak ada."

Fetty mengangguk sambil dengan jemari menyisir rambutnya yang tertiup angin.

"Iya, kebanyakan orang Indonesia nganggap peran ayah cuma dilihat dari segi ekonomi. Yang penting cari nafkah. Urusan anak? Serahkan ke ibu."

Sambil tersenyum, Fetty kemudian melirik ke Jamal. "Eh, Mas Jamal, itu peran lo, kan? ATM berjalan buat anak-anak."

Tawa langsung pecah. Jamal hanya bisa menunduk sambil menggeleng, menahan tawanya.

"Wah, wah... Gue, ATM berjalan? Sakit banget gue digituin."

Myrna yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya angkat bicara.

"Tapi bener, loh. Dulu, kalo ada cowok yang gendong anak pake jarik di mal, pasti deh dicibir, 'Kemana istrinya?' Sekarang malah dianggap suami idaman."

Widdy menyambut. "Bener, dan itu mulai keliatan di generasi sekarang. Kayak suamiku tuh, kalau aku lagi capek, dia nggak ragu ambil alih kerjaan rumah. Masak, cuci piring, mandiin anak. Generasi sebelumnya? Pasti dianggap aneh."

Susan mengangguk setuju. "Iya, tapi menurutku masih perlu ada perubahan besar yang harus dilakukan. Sekarang memang lebih baik karena informasi soal parenting lebih terbuka, tapi stigma tentang peran ayah yang cuma pencari nafkah masih kuat."

Jamal tiba-tiba menyela dengan ekspresi serius, tapi tetap dengan gaya bercandanya.

"Eh, kalian bayangin ya. Kalo gue gendong anak di mall, bukannya dianggap keren, malah dikira gue babysitter. Pahit!"

Semua tertawa lagi. Rhynda yang lelah bicara pun tak tahan untuk ikut komentar.

"Mungkin lo dikira sedang freelance babysitting!"

Setelah tawa mereka reda, suasana kembali agak serius. Rhynda berbicara lagi.

"Aku nggak tersinggung sih kalau Indonesia disebut negara fatherless, karena patriarki sudah turun temurun. Tapi, kalau kita mau menghilangkan stigma itu, ya, kita sendiri yang harus mulai berubah."

Susan mengangguk. "Betul. Kita nggak bisa terus mengutamakan anak laki-laki untuk kerja dan anak perempuan buat 'ikut' suami. Anak perempuan juga harus bisa mandiri. Mereka punya potensi. Lihat Menteri keuangan dan luar negri kita. Perempuan hebat."

"Yaa, yaa, ya, bisa jadi ibu-ibu Menteri itu, bisa begitu, mungkin karena kerelaan sang suami atas jalan kariernya", sergah Fetty yang paling langsing di rombongan itu.

Myrna menambahkan, "Apalagi, kalau suaminya tiba-tiba nggak ada, atau kantornya bangkrut, gimana? Makanya, peran perempuan juga harus diperkuat. Suami gak boleh minder jika istrinya bisa lebih mentereng kariernya."

"Bener," kata Widdy, "Masalahnya, kita masih suka mengkotak-kotakkan tugas. Kalau lihat anak laki-laki nyapu rumah, langsung sapunya diambil alih. Padahal, yaa, nggak ada salahnya."

Fetty terkekeh. "Iya, itu sih konyol. Kalau kita mau Indonesia nggak dibilang fatherless, stop deh ngebedain tugas laki-laki dan perempuan di rumah."

Jamal, yang biasanya selalu bercanda, kali ini mengangguk setuju. "Ini butuh waktu. Generasi kita bisa mulai, tapi mungkin butuh dua atau tiga generasi lagi buat benar-benar mengubah pemikiran 'tabu' soal tugas dalam rumah tangga."

Suasana kembali meriah ketika Fetty tiba-tiba berkata dengan wajah jahil, "Eits, inget ya, standar 'ayah yang baik' itu bisa berubah sesuai 'kont*l panjang'!"

Semua langsung tertawa keras, terutama Jamal yang hampir tersedak kopinya. Rhynda tertawa sampai terbatuk, sementara Susan menepuk-nepuk punggungnya. "Maksud lo 'situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan', kan?"

"Tentu saja!" jawab Fetty sambil tertawa terbahak. "Jangan pikir kotor dulu, lah. Standar bisa berubah sesuai situasi, jadi jangan buru-buru nge-judge."

Setelah tawa mereka mereda, semua kembali terdiam sejenak, menikmati angin sejuk dan wangi bunga krisan yang menyapu wajah mereka. Matahari mulai beranjak turun, memandikan taman dengan cahaya keemasan yang lembut.

"Intinya, kita harus mulai dari diri sendiri, ya," ujar Myrna sambil menghela napas.

"Kalau kita lebih fleksibel dalam membesarkan anak, mungkin generasi ke depan bisa lebih baik."

Susan menyimpulkan diskusi setelah sepanjang percakapan sering anggukan kepala dengan mantap.

"Betul. Jangan lagi menempatkan anak laki-laki di posisi yang lebih istimewa, untuk urusan rumah. Semua, laki-perempuan, harus berperan.
Semua harus dibiasakan mengerjakan semua jenis pekerjaan di rumah.
Dan itu, harus bisa dilakukan, dengan begitu stigma fatherless ini perlahan bakal hilang".

Myrna pun menyahut,
"Kasihan beban para ibu. Cari uang, iyaa. Ngurus rumah tak dibantu. Sorry, yaa, istri itu bukan babu. Dia juga butuh 'me time' , seperti kita-kita sekarang. Refreshing bersama teman".

Sesaat kemudian mereka mengupas kata babu dan kemiskinan. Mereka sadar, tanpa ada Mbok-Mbok dan Bibi-Bibi miskin yang bersedia jadi ART - nya, tak mungkin sekawanan itu menikmati 'me time'. Jalan-jalan dan cekikikan, libur dari urusan rumah.

---

*Kesimpulan*  
Diskusi ringan di Taman Bunga Nusantara ini menyadarkan mereka bahwa stigma Indonesia sebagai negara fatherless memang muncul dari pandangan patriarki yang masih kuat, di mana ayah hanya dilihat sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai pengurus rumah tangga.

Padahal fakta saat ini, semakin banyak pasangan yang sama-sama bekerja, demi tercukupinya biaya kehidupan keluarga. Tak jarang pula pendapatan istri jauh lebih besar dari gaji suami.

Dari fakta diatas, mestinya kultur dominasi suami mulai berubah. Tak boleh suami tak peduli pada pekerjaan rumah. Istri sudah terbebani bekerja cari uang, tak pantas-lah suami ongkang-ongkang jadi mandor di rumah.

Di sisi lain, dengan semakin terbukanya akses informasi dan pola pikir yang lebih modern, generasi muda ayah sekarang jauh lebih terlibat dalam pengasuhan anak, baik secara fisik maupun emosional. Perubahan ini masih membutuhkan waktu, namun tanda-tanda positif sudah mulai terlihat.

Ada sisipan pengakuan, bahwa ketidak-berdayaan dan kemiskinan adalah fasilitas bagi kaum mapan. ART adalah wujudnya, bekerja tanpa batasan jam kerja dan jaminan sosial yang diundangkan

*Saran*
Untuk mengurangi stigma fatherless, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir tentang peran ayah dan ibu dalam rumah tangga.

Setiap anggota keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, harus dilibatkan dalam berbagai tugas rumah tangga dan pengasuhan anak.

Jangan membedakan peran berdasarkan gender, dan mulai mengajarkan hal ini sejak dini kepada anak-anak. Dengan begitu, diharapkan generasi berikutnya bisa tumbuh dalam lingkungan yang lebih seimbang dan menghargai keterlibatan kedua orang tua.

Tambahan, setiap keluarga yang mempekerjakan ART, wajib mentunaikan hak-hak pekerjanya.

------------

Selasa, 10/09/2024 12:46:17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun