Semua langsung tertawa keras, terutama Jamal yang hampir tersedak kopinya. Rhynda tertawa sampai terbatuk, sementara Susan menepuk-nepuk punggungnya. "Maksud lo 'situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan', kan?"
"Tentu saja!" jawab Fetty sambil tertawa terbahak. "Jangan pikir kotor dulu, lah. Standar bisa berubah sesuai situasi, jadi jangan buru-buru nge-judge."
Setelah tawa mereka mereda, semua kembali terdiam sejenak, menikmati angin sejuk dan wangi bunga krisan yang menyapu wajah mereka. Matahari mulai beranjak turun, memandikan taman dengan cahaya keemasan yang lembut.
"Intinya, kita harus mulai dari diri sendiri, ya," ujar Myrna sambil menghela napas.
"Kalau kita lebih fleksibel dalam membesarkan anak, mungkin generasi ke depan bisa lebih baik."
Susan menyimpulkan diskusi setelah sepanjang percakapan sering anggukan kepala dengan mantap.
"Betul. Jangan lagi menempatkan anak laki-laki di posisi yang lebih istimewa, untuk urusan rumah. Semua, laki-perempuan, harus berperan.
Semua harus dibiasakan mengerjakan semua jenis pekerjaan di rumah.
Dan itu, harus bisa dilakukan, dengan begitu stigma fatherless ini perlahan bakal hilang".
Myrna pun menyahut,
"Kasihan beban para ibu. Cari uang, iyaa. Ngurus rumah tak dibantu. Sorry, yaa, istri itu bukan babu. Dia juga butuh 'me time' , seperti kita-kita sekarang. Refreshing bersama teman".
Sesaat kemudian mereka mengupas kata babu dan kemiskinan. Mereka sadar, tanpa ada Mbok-Mbok dan Bibi-Bibi miskin yang bersedia jadi ART - nya, tak mungkin sekawanan itu menikmati 'me time'. Jalan-jalan dan cekikikan, libur dari urusan rumah.
---
*Kesimpulan* Â
Diskusi ringan di Taman Bunga Nusantara ini menyadarkan mereka bahwa stigma Indonesia sebagai negara fatherless memang muncul dari pandangan patriarki yang masih kuat, di mana ayah hanya dilihat sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai pengurus rumah tangga.