Semua tertawa lagi. Rhynda yang lelah bicara pun tak tahan untuk ikut komentar.
"Mungkin lo dikira sedang freelance babysitting!"
Setelah tawa mereka reda, suasana kembali agak serius. Rhynda berbicara lagi.
"Aku nggak tersinggung sih kalau Indonesia disebut negara fatherless, karena patriarki sudah turun temurun. Tapi, kalau kita mau menghilangkan stigma itu, ya, kita sendiri yang harus mulai berubah."
Susan mengangguk. "Betul. Kita nggak bisa terus mengutamakan anak laki-laki untuk kerja dan anak perempuan buat 'ikut' suami. Anak perempuan juga harus bisa mandiri. Mereka punya potensi. Lihat Menteri keuangan dan luar negri kita. Perempuan hebat."
"Yaa, yaa, ya, bisa jadi ibu-ibu Menteri itu, bisa begitu, mungkin karena kerelaan sang suami atas jalan kariernya", sergah Fetty yang paling langsing di rombongan itu.
Myrna menambahkan, "Apalagi, kalau suaminya tiba-tiba nggak ada, atau kantornya bangkrut, gimana? Makanya, peran perempuan juga harus diperkuat. Suami gak boleh minder jika istrinya bisa lebih mentereng kariernya."
"Bener," kata Widdy, "Masalahnya, kita masih suka mengkotak-kotakkan tugas. Kalau lihat anak laki-laki nyapu rumah, langsung sapunya diambil alih. Padahal, yaa, nggak ada salahnya."
Fetty terkekeh. "Iya, itu sih konyol. Kalau kita mau Indonesia nggak dibilang fatherless, stop deh ngebedain tugas laki-laki dan perempuan di rumah."
Jamal, yang biasanya selalu bercanda, kali ini mengangguk setuju. "Ini butuh waktu. Generasi kita bisa mulai, tapi mungkin butuh dua atau tiga generasi lagi buat benar-benar mengubah pemikiran 'tabu' soal tugas dalam rumah tangga."
Suasana kembali meriah ketika Fetty tiba-tiba berkata dengan wajah jahil, "Eits, inget ya, standar 'ayah yang baik' itu bisa berubah sesuai 'kont*l panjang'!"