Kakek menunduk sejenak, kemudian berkata lembut, "Bangga boleh, Renny. Tapi ingat, bangga itu ada batasnya. Jangan sampai kebanggaanmu merendahkan orang lain."
Teddy tertawa pelan, menyela, "Kek, zaman sekarang orang-orang justru suka pamer biar makin dikenal. Lihat aja media sosial, semua orang berlomba-lomba pamer kekayaan, liburan mewah, pasangan romantis."
Kakek menatap Teddy tajam, "Itulah yang Kakek maksud. Pamer itu berbahaya. Kamu ingat cerita tentang penyakit 'ain? Penyakit yang muncul karena pandangan iri atau takjub seseorang?"
Teddy menatap Kakek dengan penasaran. "Apa hubungannya, Kek?"
"Ketika kita sering pamer," lanjut Kakek, "orang yang melihat bisa jadi merasa iri, dengki, atau bahkan merasa hidupnya kurang sempurna. Ini bisa membuat mereka tidak bersyukur atas apa yang mereka miliki."
Malik yang duduk tenang dari tadi, angkat bicara. "Kita nggak pernah tahu perasaan orang lain, Bang Teddy. Mungkin awalnya mereka cuma kagum, tapi lama-lama bisa timbul rasa iri. Itu yang membuat penyakit 'ain jadi berbahaya."
Fatimah mengangguk. "Benar, dan Rasulullah SAW juga melarang kita berlebihan dalam menunjukkan nikmat yang kita punya. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Falaq ayat 5, 'Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.' Itu peringatan agar kita tidak menimbulkan hasad pada orang lain."
Renny mengernyitkan dahi. "Hasad itu apa, sih?"
Malik menjawab dengan tenang, "Hasad itu iri hati. Perasaan tidak suka atau ingin menghilangkan nikmat yang dimiliki orang lain. Hasad adalah penyakit hati yang sangat dibenci dalam Islam."
Teddy menyandarkan diri di kursi, masih tampak tidak sepenuhnya yakin. "Tapi, Kek, apa salahnya kagum sama orang yang sukses atau punya hidup sempurna?"
Kakek tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Kagum boleh, Teddy. Tapi jangan sampai terlalu terpesona. Kalau kita terus membandingkan hidup kita dengan orang lain yang terlihat sempurna, kita bisa lupa bersyukur. Itu bisa menimbulkan rasa tidak puas dan akhirnya iri hati."