Tetiba-tiba Beliau jatuh sakit dan harus dilarikan dengan Ambulance ke rumah sakit di Celaket.
Ibu, dengan wajah tegar namun penuh kecemasan, menelpon kami semua yang berada di perantauan.
"Nak, segeralah pulang. Bapak kritis," suaranya bergetar, tapi dia berusaha tetap kuat.
Perjalanan pulang kali ini terasa begitu lama dan berat. Hati kami diliputi kecemasan yang tak terbendung.
Setiap detik terasa seperti pukulan, penuh kekhawatiran akan kondisi bapak. Kami hanya bisa berdoa dalam perjalanan panjang itu.
Begitu sampai di Malang suasana yang kami jumpai berbeda. Tidak ada senyuman ibu  seperti biasanya , saat menyambut kami di depan pintu .
Ia sedang duduk di samping ranjang besi beku rumah sakit,. Menggenggam tangan bapak yang lemah. Kami lemas, goyah bergegas menghampiri. Berusaha menahan gugup seraya mencoba memberikan kekuatan dan harapan.
Namun, takdir berkata beda. Dalam senyap tanpa angin, malam Ramadhan, daun-daun diam, suasana sunyi menggantung di udara, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.
Tepat di depan mata kami, sunggingkan senyum terakhir. Tanpa sempat mengucapkan kata-kata perpisahan.
Hanya binar tatapan penuh makna yang tak terucap dari matanya yang perlahan tertutup.
Kehilangan itu begitu mendalam, meninggalkan luka yang sulit diobati.