Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerpen | P U L A N G

3 September 2024   01:27 Diperbarui: 3 September 2024   01:45 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen   |  P U L A N G


Disadur & diperkaya dari postingan  GWA Pensiunan

DikToko
(Soetiyastoko)

Aku tak mengerti alasan logisnya, mengapa kami harus kuliah di kota lain, padahal di kota kami banyak perguruan tinggi yang hebat. Banyak pula anak muda dari kota lain yang kuliah dikota kami. Termasuk yang dari berbagai kota  di luar Pulau Jawa.

Aku paham merantau itu butuh biaya besar dan berkesinbungan.

Tapi, Bapak dan Ibu kami tak berkeberatan. 

Kami tahu demi membiayai kuliah kami di Rantau, mereka harus ekstra banting tulang. Tak cuma berjualan di pasar,  kalau hanya itu, pasti tidak cukup.

Pesan mereka, "Belajarlah dengan sungguh-sungguh, mumpung Ibu dan Bapak masih bisa ...."

Ada yang selalu ditanyakan bapak , terutama ibu lewat surat, menjelang akhir Ramadhan kepada kami, "Kapan pulang?"

Kami, kakak-beradik 6 orang,  hanya seorang yang tidak merantau. Lainnya mencari ilmu ke Bandung.

Aku rindu, teh ginastel---teh manis, panas, dan kental--- terbayang-bayang nikmatnya.
Ibu setiap pagi, selalu menyediakan di meja makan .

Aroma teh itu menjadi simbol kehangatan dan kerinduan akan rumah, sesuatu yang selalu kami nanti-nantikan setelah berbulan-bulan berjibaku dengan tugas dan ujian di Kota Kembang.

Kota yang tak sesejuk dengan kota Batu, kota kami dekat kota Malang.

Akhir Ramadhan memang menjadi kesempatan untuk pulang kampung bagi kami yang merantau. Orang Betawi menyebutnya mudik.

Terpancar rasa bahagia saat tiket sudah terbeli, walaupun dengan menumpang kereta termurah. Kami muda yang masih kuat berdesak-desakan di gerbong pengap.

Hampir selalu tidak dapat tempat duduk maklum mahasiswa pejuang marjinal.

Kami tidak perduli kalau pun sepanjang perjalanan harus berdiri. Syukur jika bisa duduk "slonjoran" di bawah kolong kursi orang atau di lantai di samping WC gerbong kereta.

Aroma pesing sepanjang perjalanan, adalah sesuatu yang diterima, sebagai lumrah di kereta jelata.
Meski waktu perjalanan yang pamjang., lebih dari 10 jam baru sampai tujuan.

Naik kereta "beraroma ajaib" adalah ebuah perjuangan kecil, bagi mahasiswa perantau. Dibanding hal lain yang harus kami hadapi di Rantau orang. 

Pulang ke rumah di kampung, seperti menemukan telaga pelepasan dahaga kerinduan.

Namun, Ramadhan kali ini berbeda. Di tengah persiapan mudik, kabar tak mengenakan datang mendadak.

Ayah kami selama ini tak pernah cerita atau mengeluh.
Diam-diam beliau ternyata mengidap penyakit penyempitan corona jantung.

Tetiba-tiba Beliau jatuh sakit dan harus dilarikan dengan Ambulance ke rumah sakit di Celaket.

Ibu, dengan wajah tegar namun penuh kecemasan, menelpon kami semua yang berada di perantauan.

"Nak, segeralah pulang. Bapak kritis," suaranya bergetar, tapi dia berusaha tetap kuat.

Perjalanan pulang kali ini terasa begitu lama dan berat. Hati kami diliputi kecemasan yang tak terbendung.

Setiap detik terasa seperti pukulan, penuh kekhawatiran akan kondisi bapak. Kami hanya bisa berdoa dalam perjalanan panjang itu.

Begitu sampai di Malang suasana yang kami jumpai berbeda. Tidak ada senyuman ibu   seperti biasanya , saat menyambut kami di depan pintu .

Ia sedang duduk di samping ranjang besi beku rumah sakit,. Menggenggam tangan bapak yang lemah. Kami lemas, goyah bergegas menghampiri. Berusaha menahan gugup seraya mencoba memberikan kekuatan dan harapan.

Namun, takdir berkata beda. Dalam senyap tanpa angin, malam Ramadhan, daun-daun diam, suasana sunyi menggantung di udara, bapak menghembuskan nafas terakhirnya.

Tepat di depan mata kami, sunggingkan senyum terakhir. Tanpa sempat mengucapkan kata-kata perpisahan.

Hanya binar tatapan penuh makna yang tak terucap dari matanya yang perlahan tertutup.

Kehilangan itu begitu mendalam, meninggalkan luka yang sulit diobati.

Kami pulang, tetapi  kepulangan kami kali ini bukan untuk merayakan kebahagiaan, melainkan untuk melepas kepergian.

Kehangatan teh ginastel yang selalu ibu sajikan terasa hambar, karena kehangatan bapak telah tiada.

Tulang punggung keluarga itu telah tumbang.

Lalu siapa nanti yang akan mengirimkan uang biaya rantau ?

---------------

*Kesimpulan:*
Kepulangan adalah momen yang dinantikan oleh setiap anak yang merantau. Namun, tidak semua kepulangan berujung bahagia. 

Terkadang, ada peristiwa yang merubah makna dari kata "pulang" itu sendiri, dari kebahagiaan menjadi perpisahan yang mendalam.

Saran:
Setiap momen bersama keluarga adalah berharga, bila tinggal berjauhan  kini manfaatkan video calon, secara periodik. Buatlah jadwal Video Call.

Kita tidak pernah tahu  terutama kapan saat-saat terakhir bersama orang yang kita cintai.

Oleh karena itu, manfaatkan setiap kesempatan untuk kembali, bukan hanya karena kewajiban, tetapi karena cinta dan tanggung jawab terhadap keluarga yang selalu menanti. Sekali lagi jangan menunda-nunda pulang, jika uang tak jadi penghalang, karena kita tidak pernah tahu kapan kesempatan terakhir itu akan datang.

*Tamat*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun