Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kilas Balik Istidraj, Kilas Depan

27 Agustus 2024   03:14 Diperbarui: 27 Agustus 2024   03:31 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam mimpi itu, ia memaafkan Melati, Ramzi tidak menggugat cerai.

Mereka kembali bersama, melanjutkan hidup hingga tua, bahkan melihat cucu-cucu mereka tumbuh dewasa.

Namun, kenyataan adalah kenyataan. Mimpi itu hanyalah fatamorgana, khayalan yang tak akan pernah menjadi nyata. Kini, ia terjebak dalam realita yang begitu menyakitkan. Tak ada lagi Melati sang istri tersayang di sisinya, tak ada lagi cinta yang dulu pernah mereka miliki.

Ramzi berjalan kembali ke kamar, namun bukan untuk tidur. Ia duduk di lantai, bersandar pada ranjang, dan membuka Al-Quran yang selalu ia letakkan di meja samping. Dengan tangan gemetar, ia membuka lembar demi lembar, mencari penghiburan dalam firman Allah swt.

Di tengah keheningan malam, suara lembutnya melantunkan ayat-ayat suci, mengisi ruang yang sepi dengan keagungan kalam Ilahi. Setiap kata yang terucap, memberikan sedikit kedamaian di hatinya yang bergolak. Namun tetap, perasaan bersalah itu tak kunjung hilang.

"Ya Allah, andai saja aku bisa mengulang waktu...,"  bisiknya lirih, seraya menutup Al-Quran dan meletakkannya kembali di meja. Ia tahu, tak ada gunanya menyesali yang telah terjadi. Semua sudah berlalu, dan tak ada yang bisa mengubahnya.

Hujan di luar semakin deras, seolah turut merasakan kesedihan yang ia alami. Ramzi meringkuk di lantai, memeluk lututnya, berusaha menenangkan diri. Tapi pikirannya terus berputar, memikirkan segala andai yang tak akan pernah terjadi.

Andai saja ia bisa mengendalikan rasa cemasnya. Andai saja ia bisa lebih percaya pada  Melati.
Andai saja... semua andai itu terus menghantui, membuat hatinya semakin hancur.

Dengan suara pelan, ia kembali berdoa, "Yaa Allah, berikanlah aku kekuatan untuk menerima semua ini. Berikanlah aku ketabahan untuk menjalani hidupku tanpa Melati dan anak-anak. Dan yang terpenting, maafkanlah dosaku, ya Allah."

Pagi perlahan menyingsing, tapi bagi Ramzi, harinya masih kelam. Ketika matahari mulai menerangi bumi, ia masih terjebak dalam kegelapan hatinya. Meski begitu, ia tahu satu hal pasti: hidup harus terus berjalan, meskipun penuh dengan luka dan penyesalan.

Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan kedamaian. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berjuang untuk bertahan, meniti hari demi hari, mencoba untuk memaafkan dirinya sendiri dan menerima kenyataan pahit yang telah menimpanya.

Dan di saat seperti ini, hanya Allah yang bisa menjadi tempatnya bersandar.

-----------

Pagedangan, BSD, Selasa,  27/08/2024 01:46:46

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun