Selama ini, Ramzi membayar detektif untuk menjaga istrinya, bukan untuk memata-matainya. Ia melakukan itu karena cinta, karena khawatir. Bukan karena curiga. Namun kini, semuanya terasa begitu salah.
Andai saja ia tidak berlebihan dalam mengkhawatirkan Melati. Andai saja ia tidak melibatkan detektif dalam kehidupan rumah tangganya. Andai saja ia tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan memberatkan hati Melati dengan kesepian yang akhirnya membawanya pada jalan yang keliru.
"Melati...," Ramzi merintih, meremas rambutnya sendiri. Air mata kembali mengalir. Ia sadar, ini adalah buah dari semua kesalahannya. Ini adalah hasil dari rasa cemas berlebihan yang ia pelihara selama bertahun-tahun.
Ia teringat saat mereka baru menikah. Cinta mereka begitu kuat, tak ada yang bisa memisahkan. Indah selalu setia menemaninya, meski kadang Ramzi harus pergi bekerja ke luar negeri, berbulan-bulan lamanya. Namun seiring berjalannya waktu, karier Ramzi yang semakin menanjak membuatnya semakin jauh dari rumah. Ia tak lagi menjadi suami yang seharusnya hadir untuk istrinya.
"Maafkan aku, Â Melati, ... Maafkan aku..." , Ramzi terus meratap.
Kehidupan mewah yang selama ini ia berikan, ternyata tak mampu menggantikan kehangatan rumah. Meskipun ia telah membawanya keliling dunia, menyewa jet pribadi, menyusuri samudra dengan yacht mewah, bahkan mengelilingi kota dengan kereta api wisata, semuanya tak berarti apa-apa jika tak ada cinta yang tersisa.
Ramzi berdiri dari tempat tidur, berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia ingin membasuh wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ingin meredakan segala penyesalan yang menyesakkan dadanya. Ia tahu, ini adalah azab yang harus ia tanggung.
Sebuah istidraj, hukuman yang tak kasat mata, yang diberikan kepada mereka yang terlena oleh duniawi.
Di kamar mandi, Ramzi menyalakan keran air. Aliran air yang dingin menyentuh kulitnya seperti menyadarkannya dari lamunan panjang. Ia berwudhu, berharap kesucian air ini bisa menyucikan hatinya yang kotor oleh dosa dan kesalahan. Tapi air mata itu, terus mengalir, seakan enggan berhenti membasahi pipi.
"Ya Allah, apakah ini ujian-Mu? Atau ini hukuman atas kelalaianku?" Ramzi berbisik di antara desahan tangisnya.
Setelah selesai berwudhu, Ramzi berdiri di depan cermin. Wajahnya terlihat begitu lelah, matanya sembab, dan jiwanya terasa hampa. Ia teringat kembali pada mimpi yang terasa amat panjang, yang baru saja dialaminya.