Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kilas Balik Istidraj, Kilas Depan

27 Agustus 2024   03:14 Diperbarui: 27 Agustus 2024   03:31 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |   Kilas Balik Istidraj, Kilas Depan ...

DikToko
(Soetiyastoko)

Malam yang kelam diiringi suara hujan rintik-rintik tanpa angin di luar jendela kamar. 

Jam di dinding menunjukkan pukul 02.15 dini hari, saat tetiba Ramzi terbangun dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, hatinya terasa sesak, seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Mimpi itu terasa begitu nyata, membawa Ramzi pada perjalanan panjang yang lebih dari sekadar mimpi biasa.

Ramzi duduk di tepi ranjang, pandangannya menerawang ke arah jendela kaca lebar yang menampilkan bayangan hujan turun deras. Sepi, begitu sepi. Rasanya seperti keheningan ini ikut menyaksikan runtuhnya kebahagiaan yang pernah ia miliki.

Masih lekat di ingatannya, ketika seorang detektif yang sela ini ia sewa, menunjukkan rekaman CCTV dari sebuah hotel. 

Di layar itu, ia melihat istrinya, Melati, sedang berjalan berpelukan mesra bersama seorang pria berperawakan tinggi kurus, yang tak dikenalnya. Mereka masuk ke lift, keluar di lantai sembilan, dan berjalan menuju kamar 969. Adegan itu berakhir saat pintu kamar tertutup pada pukul 08.13 pagi. Detik itu juga, hatinya hancur berantakan.

"Astaghfirullah..." gumamnya lirih, mengingat kembali betapa ia menolak untuk melihat lanjutan rekaman, saat mereka keluar dari kamar. Ramzi tak sanggup. Bukan karena takut melihat kenyataan yang pahit, tetapi karena ia tak ingin meruntuhkan sisa-sisa rasa hormat dan cinta yang masih ia miliki untuk Melati.

Ia berkata pada detektif itu, "Cukup. Jangan dilanjutkan., ..."

"Pak Ramzi, apakah Anda tidak ingin tahu yang lebih lanjut?"

Ramzi hanya menggelengkan kepala, "Tidak perlu. Saya tahu cukup."

Selama ini, Ramzi membayar detektif untuk menjaga istrinya, bukan untuk memata-matainya. Ia melakukan itu karena cinta, karena khawatir. Bukan karena curiga. Namun kini, semuanya terasa begitu salah.

Andai saja ia tidak berlebihan dalam mengkhawatirkan Melati. Andai saja ia tidak melibatkan detektif dalam kehidupan rumah tangganya. Andai saja ia tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan memberatkan hati Melati dengan kesepian yang akhirnya membawanya pada jalan yang keliru.

"Melati...," Ramzi merintih, meremas rambutnya sendiri. Air mata kembali mengalir. Ia sadar, ini adalah buah dari semua kesalahannya. Ini adalah hasil dari rasa cemas berlebihan yang ia pelihara selama bertahun-tahun.

Ia teringat saat mereka baru menikah. Cinta mereka begitu kuat, tak ada yang bisa memisahkan. Indah selalu setia menemaninya, meski kadang Ramzi harus pergi bekerja ke luar negeri, berbulan-bulan lamanya. Namun seiring berjalannya waktu, karier Ramzi yang semakin menanjak membuatnya semakin jauh dari rumah. Ia tak lagi menjadi suami yang seharusnya hadir untuk istrinya.

"Maafkan aku,  Melati, ... Maafkan aku..." , Ramzi terus meratap.

Kehidupan mewah yang selama ini ia berikan, ternyata tak mampu menggantikan kehangatan rumah. Meskipun ia telah membawanya keliling dunia, menyewa jet pribadi, menyusuri samudra dengan yacht mewah, bahkan mengelilingi kota dengan kereta api wisata, semuanya tak berarti apa-apa jika tak ada cinta yang tersisa.

Ramzi berdiri dari tempat tidur, berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia ingin membasuh wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ingin meredakan segala penyesalan yang menyesakkan dadanya. Ia tahu, ini adalah azab yang harus ia tanggung.

Sebuah istidraj, hukuman yang tak kasat mata, yang diberikan kepada mereka yang terlena oleh duniawi.

Di kamar mandi, Ramzi menyalakan keran air. Aliran air yang dingin menyentuh kulitnya seperti menyadarkannya dari lamunan panjang. Ia berwudhu, berharap kesucian air ini bisa menyucikan hatinya yang kotor oleh dosa dan kesalahan. Tapi air mata itu, terus mengalir, seakan enggan berhenti membasahi pipi.

"Ya Allah, apakah ini ujian-Mu? Atau ini hukuman atas kelalaianku?" Ramzi berbisik di antara desahan tangisnya.

Setelah selesai berwudhu, Ramzi berdiri di depan cermin. Wajahnya terlihat begitu lelah, matanya sembab, dan jiwanya terasa hampa. Ia teringat kembali pada mimpi yang terasa amat panjang, yang baru saja dialaminya.

Dalam mimpi itu, ia memaafkan Melati, Ramzi tidak menggugat cerai.

Mereka kembali bersama, melanjutkan hidup hingga tua, bahkan melihat cucu-cucu mereka tumbuh dewasa.

Namun, kenyataan adalah kenyataan. Mimpi itu hanyalah fatamorgana, khayalan yang tak akan pernah menjadi nyata. Kini, ia terjebak dalam realita yang begitu menyakitkan. Tak ada lagi Melati sang istri tersayang di sisinya, tak ada lagi cinta yang dulu pernah mereka miliki.

Ramzi berjalan kembali ke kamar, namun bukan untuk tidur. Ia duduk di lantai, bersandar pada ranjang, dan membuka Al-Quran yang selalu ia letakkan di meja samping. Dengan tangan gemetar, ia membuka lembar demi lembar, mencari penghiburan dalam firman Allah swt.

Di tengah keheningan malam, suara lembutnya melantunkan ayat-ayat suci, mengisi ruang yang sepi dengan keagungan kalam Ilahi. Setiap kata yang terucap, memberikan sedikit kedamaian di hatinya yang bergolak. Namun tetap, perasaan bersalah itu tak kunjung hilang.

"Ya Allah, andai saja aku bisa mengulang waktu...,"  bisiknya lirih, seraya menutup Al-Quran dan meletakkannya kembali di meja. Ia tahu, tak ada gunanya menyesali yang telah terjadi. Semua sudah berlalu, dan tak ada yang bisa mengubahnya.

Hujan di luar semakin deras, seolah turut merasakan kesedihan yang ia alami. Ramzi meringkuk di lantai, memeluk lututnya, berusaha menenangkan diri. Tapi pikirannya terus berputar, memikirkan segala andai yang tak akan pernah terjadi.

Andai saja ia bisa mengendalikan rasa cemasnya. Andai saja ia bisa lebih percaya pada  Melati.
Andai saja... semua andai itu terus menghantui, membuat hatinya semakin hancur.

Dengan suara pelan, ia kembali berdoa, "Yaa Allah, berikanlah aku kekuatan untuk menerima semua ini. Berikanlah aku ketabahan untuk menjalani hidupku tanpa Melati dan anak-anak. Dan yang terpenting, maafkanlah dosaku, ya Allah."

Pagi perlahan menyingsing, tapi bagi Ramzi, harinya masih kelam. Ketika matahari mulai menerangi bumi, ia masih terjebak dalam kegelapan hatinya. Meski begitu, ia tahu satu hal pasti: hidup harus terus berjalan, meskipun penuh dengan luka dan penyesalan.

Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan kedamaian. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa berjuang untuk bertahan, meniti hari demi hari, mencoba untuk memaafkan dirinya sendiri dan menerima kenyataan pahit yang telah menimpanya.

Dan di saat seperti ini, hanya Allah yang bisa menjadi tempatnya bersandar.

-----------

Pagedangan, BSD, Selasa,  27/08/2024 01:46:46

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun