Beberapa hari yang lalu, berkat berita yang tersebar di grup WhatsApp dari ketua RT tempat tinggalnya dulu, beberapa mantan mahasiswa bimbingannya datang menemuinya.
Mereka terkejut melihat kondisi Prof
DR Sulaeman Badil yang sangat jauh dari sosok dosen keren yang mereka kenal dulu.
Mereka mencoba membujuknya untuk tinggal di panti jompo, menawarkan kenyamanan yang mungkin bisa ia nikmati di sisa usianya. Para mantan muridnya itu diam-diam telah sepakat iuran, membiayai kehidupan Pak Profesor yang malang sampai tiada.
Mereka juga mengantarnya ke polisi untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya serta membantu mengurus surat pensiunnya yang telah dirampas oleh istri dan anak tirinya.
Namun, Sulaeman Badil meminta waktu untuk berpikir.Â
Di dalam hatinya, ia masih berharap ada keajaiban. Ia berdoa memohon kepada Allah SWT : anak-anak kandungnya suatu hari nanti, datang mencarinya. Memaafkannya, dan membawanya pulang.
Kepada para mantan mahasiswanya bilang, bahwa, ia akan membuat keputusan setelah perayaan HUT RI ke-79 selesai, dan akan menginformasikan melalui nomor pemilik warung tempat ia tinggal sementara.
Perayaan HUT RI ke-79 itu datang dengan meriah. Kota ini dipenuhi dengan bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut. Namun bagi Prof.DR Sulaeman Badil, tidak ada semangat kemerdekaan yang terasa dalam hatinya.
Hari itu, ia hanya duduk di bangku pladtik reyot di depan warung, memandangi keramaian yang berlalu-lalang di hadapannya dengan tatapan kosong.
Malam tiba, dan keramaian berangsur-angsur mereda. Sulaeman masih duduk di tempatnya, tubuhnya semakin lemah, pikirannya semakin kacau. Ketika warung mulai tutup, pemilik warung itu mendekatinya.
"Prof, Prof, mungkin Profesor Badil perlu istirahat. Mari kita beres-beres dulu," ujar pemilik warung dengan lembut.