Tahun-tahun berlalu, dan kini, saat usianya telah memasuki kepala tujuh, ia sadar bahwa semua yang ia korbankan hanyalah kesia-siaan. Dua anak tirinya, yang dulu ia sayangi lebih dari anak kandungnya sendiri, kini sering memperlakukannya dengan kasar.Â
Mereka membentaknya, memukulnya, setiap kali ia tak mampu memberi uang lebih.
Penghasilan dari pensiunnya, yang seharusnya cukup untuk masa tuanya, habis untuk melunasi utang kredit mobil dan memenuhi kebutuhan keluarga sambungnya.
Empat bulan yang lalu, Sulaeman memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Ia tak tahan lagi dengan perlakuan mereka. Dengan hati yang terluka, ia berjalan keluar dari rumah yang pernah ia renovasi dengan segala daya dan upaya. Termasuk jasa Arsitek konsultan  rekan se-universitasnya mengajar.
Rumah yang dahulu begitu indah dan megah di matanya, kini menjadi simbol dari segala penyesalan dalam hidupnya.
Sulaeman mengontrak sebuah rumah petak di gang sempit, namun bahkan untuk membayar sewanya ia kesulitan.
Hingga akhirnya, pemilik rumah itu mengusirnya.
Tanpa tempat tinggal, ia menghabiskan hari-harinya di warung makan ini, tempat yang dahulu sering ia kunjungi saat masih kuliah.
Warung ini menjadi satu-satunya tempat yang menerima kehadirannya tanpa syarat. Sejak awal bulan ini, ia tidur di sana, di atas bangku kayu yang keras, setelah warung tutup.
Setiap hari, ia berharap bisa bertemu kembali dengan anak-anaknya dari pernikahan pertama. Ia ingin meminta maaf, ingin mengatakan betapa ia menyesal telah mengabaikan mereka.
Namun, ia sudah lama kehilangan kontak dengan mereka. Waktu telah memisahkan mereka begitu jauh, seperti jarak antara daratan Alaska dengan sungai Amazon di Amerika Selatan, Â dipisahkan oleh cakrawala yang luas.