Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Prof.DR.Sulaeman Badil Tersungkur di Ujung Sunset

17 Agustus 2024   00:53 Diperbarui: 17 Agustus 2024   01:05 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun-tahun berlalu, dan kini, saat usianya telah memasuki kepala tujuh, ia sadar bahwa semua yang ia korbankan hanyalah kesia-siaan. Dua anak tirinya, yang dulu ia sayangi lebih dari anak kandungnya sendiri, kini sering memperlakukannya dengan kasar. 

Mereka membentaknya, memukulnya, setiap kali ia tak mampu memberi uang lebih.

Penghasilan dari pensiunnya, yang seharusnya cukup untuk masa tuanya, habis untuk melunasi utang kredit mobil dan memenuhi kebutuhan keluarga sambungnya.

Empat bulan yang lalu, Sulaeman memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Ia tak tahan lagi dengan perlakuan mereka. Dengan hati yang terluka, ia berjalan keluar dari rumah yang pernah ia renovasi dengan segala daya dan upaya. Termasuk jasa Arsitek konsultan  rekan se-universitasnya mengajar.

Rumah yang dahulu begitu indah dan megah di matanya, kini menjadi simbol dari segala penyesalan dalam hidupnya.

Sulaeman mengontrak sebuah rumah petak di gang sempit, namun bahkan untuk membayar sewanya ia kesulitan.

Hingga akhirnya, pemilik rumah itu mengusirnya.

Tanpa tempat tinggal, ia menghabiskan hari-harinya di warung makan ini, tempat yang dahulu sering ia kunjungi saat masih kuliah.

Warung ini menjadi satu-satunya tempat yang menerima kehadirannya tanpa syarat. Sejak awal bulan ini, ia tidur di sana, di atas bangku kayu yang keras, setelah warung tutup.

Setiap hari, ia berharap bisa bertemu kembali dengan anak-anaknya dari pernikahan pertama. Ia ingin meminta maaf, ingin mengatakan betapa ia menyesal telah mengabaikan mereka.

Namun, ia sudah lama kehilangan kontak dengan mereka. Waktu telah memisahkan mereka begitu jauh, seperti jarak antara daratan Alaska dengan sungai Amazon di Amerika Selatan,  dipisahkan oleh cakrawala yang luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun