Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Prof.DR.Sulaeman Badil Tersungkur di Ujung Sunset

17 Agustus 2024   00:53 Diperbarui: 17 Agustus 2024   01:05 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Prof.DR. Sulaeman Badil, Tersungkur di Ujung Sunset

DikToko
(Soetiyastoko)

Di depan warung makan sederhana yang berada di pinggir jalan berdebu, tampak seorang lelaki tua duduk termenung. Sesekali terbatuk.

Wajahnya yang keriput mengisyaratkan betapa banyak beban hidup yang ia pikul. Namanya Sulaeman Badil, sosok yang dahulu terpandang sebagai dosen di sebuah universitas ternama di kota itu. 

Tahun-tahun berlalu, dan semua yang ia banggakan telah lama sirna, terkikis oleh keegoisan dan kesalahan-kesalahan yang tak bisa di benarkan, bahkan oleh dirinya sendiri.

Langit senja di atas warung makan itu begitu indah, penuh dengan warna oranye dan merah yang membakar cakrawala. Namun, kontras dengan pemandangan yang menakjubkan itu, suasana hati Prof. DR Sulaeman Badil,  penuh dengan kesedihan.

Pikiran Sulaeman kembali ke masa-masa ketika ia masih jelang berusia 35 tahun,  gagah-suka yang enak-enak, dan baru saja kehilangan istri pertamanya. Meninggal saat operasi sesar anak bungsunya.

Tiga anaknya yang masih kecil  ditinggalkannya begitu saja, seolah mereka bukanlah bagian dari hidupnya lagi.

Ketika itu, ia jatuh cinta---atau mungkin sekadar terjerat oleh hasrat---pada seorang janda, kenalan supirnya.

Janda tersebut memiliki dua anak laki-laki dari mantan suaminya, seorang perwira polisi yang desersi. Janda itu memiliki daya tarik yang kuat, yang membuat Sulaeman tanpa ragu menjual rumahnya sendiri demi merenovasi rumah wanita itu. Ia bahkan melunasi kredit mobilnya, mengurus semua keperluan anak-anak tirinya. Sementara mengabaikan kewajiban terhadap darah dagingnya sendiri.

Ketiga anak kandungnya diserahkan kepada mertuanya. Janda itu keberatan berbagi kasih dengan mereka, dan Sulaeman lebih memilih menyenangkan hati wanita itu ketimbang memikirkan masa depan anak-anaknya. Ia hanya ingin mengejar kebahagiaan yang fana, yang dalam benaknya saat itu sebagai lelaki muda, terasa begitu mutlak dan mendesak.

Tahun-tahun berlalu, dan kini, saat usianya telah memasuki kepala tujuh, ia sadar bahwa semua yang ia korbankan hanyalah kesia-siaan. Dua anak tirinya, yang dulu ia sayangi lebih dari anak kandungnya sendiri, kini sering memperlakukannya dengan kasar. 

Mereka membentaknya, memukulnya, setiap kali ia tak mampu memberi uang lebih.

Penghasilan dari pensiunnya, yang seharusnya cukup untuk masa tuanya, habis untuk melunasi utang kredit mobil dan memenuhi kebutuhan keluarga sambungnya.

Empat bulan yang lalu, Sulaeman memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Ia tak tahan lagi dengan perlakuan mereka. Dengan hati yang terluka, ia berjalan keluar dari rumah yang pernah ia renovasi dengan segala daya dan upaya. Termasuk jasa Arsitek konsultan  rekan se-universitasnya mengajar.

Rumah yang dahulu begitu indah dan megah di matanya, kini menjadi simbol dari segala penyesalan dalam hidupnya.

Sulaeman mengontrak sebuah rumah petak di gang sempit, namun bahkan untuk membayar sewanya ia kesulitan.

Hingga akhirnya, pemilik rumah itu mengusirnya.

Tanpa tempat tinggal, ia menghabiskan hari-harinya di warung makan ini, tempat yang dahulu sering ia kunjungi saat masih kuliah.

Warung ini menjadi satu-satunya tempat yang menerima kehadirannya tanpa syarat. Sejak awal bulan ini, ia tidur di sana, di atas bangku kayu yang keras, setelah warung tutup.

Setiap hari, ia berharap bisa bertemu kembali dengan anak-anaknya dari pernikahan pertama. Ia ingin meminta maaf, ingin mengatakan betapa ia menyesal telah mengabaikan mereka.

Namun, ia sudah lama kehilangan kontak dengan mereka. Waktu telah memisahkan mereka begitu jauh, seperti jarak antara daratan Alaska dengan sungai Amazon di Amerika Selatan,  dipisahkan oleh cakrawala yang luas.

Beberapa hari yang lalu, berkat berita yang tersebar di grup WhatsApp dari ketua RT tempat tinggalnya dulu, beberapa mantan mahasiswa bimbingannya datang menemuinya.

Mereka terkejut melihat kondisi Prof
DR Sulaeman Badil yang sangat jauh dari sosok dosen keren yang mereka kenal dulu.

Mereka mencoba membujuknya untuk tinggal di panti jompo, menawarkan kenyamanan yang mungkin bisa ia nikmati di sisa usianya. Para mantan muridnya itu diam-diam telah sepakat iuran, membiayai kehidupan Pak Profesor yang malang sampai tiada.

Mereka juga mengantarnya ke polisi untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya serta membantu mengurus surat pensiunnya yang telah dirampas oleh istri dan anak tirinya.

Namun, Sulaeman Badil meminta waktu untuk berpikir. 

Di dalam hatinya, ia masih berharap ada keajaiban. Ia berdoa memohon kepada Allah SWT : anak-anak kandungnya suatu hari nanti, datang mencarinya. Memaafkannya, dan membawanya pulang.

Kepada para mantan mahasiswanya bilang, bahwa, ia akan membuat keputusan setelah perayaan HUT RI ke-79 selesai, dan akan menginformasikan melalui nomor pemilik warung tempat ia tinggal sementara.

Perayaan HUT RI ke-79 itu datang dengan meriah. Kota ini dipenuhi dengan bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut. Namun bagi Prof.DR Sulaeman Badil, tidak ada semangat kemerdekaan yang terasa dalam hatinya.

Hari itu, ia hanya duduk di bangku pladtik reyot di depan warung, memandangi keramaian yang berlalu-lalang di hadapannya dengan tatapan kosong.

Malam tiba, dan keramaian berangsur-angsur mereda. Sulaeman masih duduk di tempatnya, tubuhnya semakin lemah, pikirannya semakin kacau. Ketika warung mulai tutup, pemilik warung itu mendekatinya.

"Prof, Prof, mungkin Profesor Badil perlu istirahat. Mari kita beres-beres dulu," ujar pemilik warung dengan lembut.

Sulaeman mengangguk, berusaha bangkit dari tempat duduknya. 

Tak dinyana, tubuhnya tak lagi kuat. Ia jatuh tersungkur ke lantai. Napasnya tersengal-sengal. Pemilik warung panik, segera berlari mencari bantuan.

Namun, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Dalam sekejap, dunia yang dipenuhi warna-warni senja itu berubah menjadi gelap. Sulaeman Badil, yang sepanjang hidupnya mengejar bayang-bayang kebahagiaan & kenikmatan semu, menghembuskan napas terakhirnya di lantai warung makan itu, tanpa keluarga di sisinya.

Di langit yang indah itu, senja akhirnya meredup, hanya tinggalkan  kegelapan malam yang pekat. 

Begitu pula dengan hidup Prof.DR Sulaeman Badil, yang berakhir tragis di bawah langit yang penuh dengan kenangan pahit dan penyesalan.

*Tamat*

-----------

Pagedangan, Jumat, 16/08/2024 23:34:29
Diantara sayup-sayup suara-suara indah, lomba karaoke di RT tetangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun