Sikap seperti ini mudah ditularkan bahkan diturunkan antar generasi diberbagai lingkup sosial atau komunitas yang terkait.
Termasuk segala "pokok-nya" yang lain. Jelas amat emosional dan sama sekali tidak logis".
Selain kualitas-kualitas keterhubungan antara kesebelasan dengan penonton atau pun partai politik/politisi dengan pemilihnya ; bisa digambarkan dengan diagram sumbu x & y.
Sumbu x adalah nilai logika, sumbu y emosional. Semakin tinggi nilai emosional, semakin besar potensi kerusuhannya dan sebaliknya, jika nilai logikanya tinggi.
Itu analisa di luar stadion, di luar masa kampanye/pemilu.
Menjadi berbeda di saat hari H di lokasi. Ada faktor psikologi masa dan sosial. Termasuk ekses dari interaksi antar pendukung yang berbeda.
Tingkat kearifan dan kesabaran banyak pihak, berkontribusi pada jalannya kontestasi tontonan-permainan olahraga & pemilu dan partai/politisi.
Tidak mudah mengendalikan kontestasi dengan polarisasi masa.
Ini termasuk wilayah sosial psikologis dan keberagamaan (kepatutan, etika, moral) dan pendidikan.
Polarisasi politik pada pemilihan Presiden RI 2014 & pemilihan Gubernur Jakarta 2017. Tragedi Stadion sepakbola Kanjuruhan. Rivalitas pendukung Persija vs Persib, Persebaya vs Arema. Sudah kita baca dampaknya.
Situasi atau kondisi emosional dan minim logika, adalah salah satu indikator kualitas mentalitas bangsa. Rawan terprovokasi, menyulut kerusuhan masal.