Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Kangen Dikau, Kata-mu

29 Maret 2023   12:21 Diperbarui: 29 Maret 2023   12:31 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Kangen Dikau, Kata-mu

Soetiyastoko

Saat-saat kita berbincang dan saling pandang, itu sudah terlalu lama berlalu. Bahkan alis mata-ku yang menurut-mu  lekukan-nya indah, serasi dengan bundar bola mataku, kini sudah tak selebat dulu.

Aku heran, itu masih kau ingat dan tertera di cerita pendek-mu. Aku tahu, kau sengaja menuliskannya untuk-ku.

Aku sulit percaya, kalau dirimu benar-benar masih mengharapkanku. Tapi aku juga yakin, kau tidak sedang berbohong kepadaku.

Aah ! Kamu, masih saja sukses mengaduk-aduk perasaan-ku. Hatiku lembut, penuh kasih. Itu katamu dulu.

Kau selalu bilang tak pandai menata kata dan senyum memikatku. Tapi aku tak bisa dusta, selalu terpana memandangi-mu dan serasa dipuja oleh lontaran kalimat-mu.

Kau pernah bilang, rekah bibir-ku memerah indah. Ucapan-mu membuatku senang, walau tersipu malu.   Kalimat-mu itu selalu terngiang ditelinga-ku, hingga sebanyak ini umur-ku.

Walau kau tak pernah bilang, aku cantik-mempesona, karena mata mimik wajah-mu selalu menyiratkannya, jika kita sedang  bercengkrama.

Baca juga: Puisi: Duhai Dikau

Tapi, mengapa kau tak pernah menyebut satu kata yang amat kutunggu, dari bawah kumis  tipis-mu yang keriting?

Tak mampu-kah -dulu- mulut-mu mengucapkan kata itu  ? Kamu terlalu. Membuatmu tenggelam dan gelagepan tergenang penantian.

Lalu apa gunanya, mengingat-ingat-ku, merindukan diriku , hingga kini ?

Apa tak terbaca oleh-mu, perasaanku di mataku, di senyumku, disikapku, dinada suara-ku.

Kau sungguh menyiksa-ku dengan iming-iming harapan, tapi tak kunjung kau berikan.

Bukankah dirimu sungguh mengharapkan-ku ? Mengapa tak kunjung kau ikrar-kan ? Tak jua kau proklamasikan kepada-ku ?

Andai saja kau berani nekad pamit pulang dari rumahku lewat malam, mungkin pak hansip yang berjaga, berkenan memaksamu menikahiku.

Tapi kau terlalu sopan untuk membuatku melakukan yang begitu. Bahkan kau tak pernah menyentuhku ! Namun justru itu kehebatan-mu yang kusuka.

Aku jadi ingat yang dulu-dulu, kenangan di sudut ruang tamu. Termasuk menunggu sesatu akan kau lakukan di bawah pohon mangga. Yaa ! Lambai-an tangan dan senyum, sebelum menderu  di atas tunggangan. Tinggalkan-ku.

Aah  kamu ! Jangan ulangj lagi kalimat yang membuatku malu tersedu dikamarku, kau bilang pada teman kita, 'Takut kutolak dan membuatku tak mau lagj berteman dengan-mu"

Mestinya dikau sudah tak punya rasa takut itu. Bukankan hampir tiap kau berkunjung ke rumah-ku, aku selalu me nyambut-mu full senyum dan segala riang manja-ku.

Mungkinkah aku berbohong dengan semua spontanitas-ku itu ? Aku perempuan, tak patut melesatkan anak panah. Mestinya, kamu yang menarik tali busur dan melepaskannya penuh mesra.

Tapi semua itu telah jadi penantian yang sia-sia.

Ketika kau tulis di cerpen-mu, "mestinya anak-mu, mantu-ku dan cucu-mu, adalah a-man-cu mu juga" , saat itu sudah terlambat.

Kalimatmu itu, mengingatkanku, saat aku pura-pura marah pada-mu. Lalu kutinggal pergi.

Tak kau lihatkah saat itu, aku tampil tak biasa. Sengaja kusajikan istimewa untuk-mu. Se gaja kupantik keberanianmu. Kutunggu kata itu darimu.

Tapi dikau terdiam tak beranjak. Saat itu sangat kuharap, kau kejar aku. Kau gamit tanganku dan menahanku, untuk tidak pergi. Seperti yang kubaca di novel-novel.

Namun aku harus kecewa, kau tak lakukan yang kutunggu-tunggu darimu.

Sejak itu lukanya duka terbingkai dan teronggok , sedangkan cangkir tosca itu tak pernah lagi kusajikan pada-mu.

Kau  tega, sejak itu tak datangiku lagi.

Waktu berjalan dan aku tak ingin ketinggalan. Salahkah telah ku-iya-kan -yang- dengan mesra menjemputku jelajahi masa.

Di ujung kecewa, , kangen, menunggu-mu yang tak kunjung datang.

Sudah bergudang-gudang "kata  sayang" ingin kubisikan pada-mu,
terpaksa kukarungi,
kependam rapat
dibenakku,

Sebab yang telah kutunggu lama,
tak kau lakukan padaku,
telinga-mu
tak pernah mendekat
kepadaku, ....
Aku tak berani lancang
sembarang
ucapkan "sayang"
yang mestinya
sudah kau baca
dimataku.

Kau sungguh terlalu,
biarkanku
resah-gelisah
digelombang-badai
penantian

Waktu berjalan dan aku tak ingin ketinggalan. Salahkah telah ku-iya-kan -yang- dengan mesra menjemputku jelajahi masa ? Dan kini, memberiku cucu.

(Sejujurnya, hingga kini senyum-mu sering mengunjungi-ku. Maaf, telah kularang diri-ku dari kangen lagi, kepada-mu. Meski kenangan tentang-mu terpatri di sudut benak-ku, seperti tahi lalat menghias wajah. 

Tolong jangan ganggu, aku. 

Semoga kau berkesempatan baca tulisan ini. Tks.)

--------------

Bumi  Puspita Asri, Pagedangan, BSD, Jumat 17/03/2023 04:06:12

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun