Ketika kau tulis di cerpen-mu, "mestinya anak-mu, mantu-ku dan cucu-mu, adalah a-man-cu mu juga" , saat itu sudah terlambat.
Kalimatmu itu, mengingatkanku, saat aku pura-pura marah pada-mu. Lalu kutinggal pergi.
Tak kau lihatkah saat itu, aku tampil tak biasa. Sengaja kusajikan istimewa untuk-mu. Se gaja kupantik keberanianmu. Kutunggu kata itu darimu.
Tapi dikau terdiam tak beranjak. Saat itu sangat kuharap, kau kejar aku. Kau gamit tanganku dan menahanku, untuk tidak pergi. Seperti yang kubaca di novel-novel.
Namun aku harus kecewa, kau tak lakukan yang kutunggu-tunggu darimu.
Sejak itu lukanya duka terbingkai dan teronggok , sedangkan cangkir tosca itu tak pernah lagi kusajikan pada-mu.
Kau  tega, sejak itu tak datangiku lagi.
Waktu berjalan dan aku tak ingin ketinggalan. Salahkah telah ku-iya-kan -yang- dengan mesra menjemputku jelajahi masa.
Di ujung kecewa, , kangen, menunggu-mu yang tak kunjung datang.
Sudah bergudang-gudang "kata  sayang" ingin kubisikan pada-mu,
terpaksa kukarungi,
kependam rapat
dibenakku,
Sebab yang telah kutunggu lama,
tak kau lakukan padaku,
telinga-mu
tak pernah mendekat
kepadaku, ....
Aku tak berani lancang
sembarang
ucapkan "sayang"
yang mestinya
sudah kau baca
dimataku.