"Gaji-nya paling, ... Cuma berapa, .... Tapi kok bisa, yaa  punya mobil baru dan bagus ! "
"Yaa, kita tak tahu rejeki mereka dari mana. Dan kita tak harus tahu, ..." Celetuk seorang Ibu yang mengenakan daster loreng, khas pasukan komando
"Paling-paling mereka kredit, .... Aku juga pernah ditawari kredit, ... Mobil seperti itu, .... Cicilannya mahal, hampir sembilan juta,....
Tepatnya delapan koma sembilan juta !"
"Waah, jadi besar dong cicilan hutangnya, belum lagi ditambah cicilan rumah sebulan tiga setengah juta, ... Wouw ! Dari mana uang mereka !"
"Yaa, mungkin saja mereka di posisi basah, di kampusnya. Jadi ada 'sabetan' bin 'ceperan', .. Atau sogokan dari mahasiswa !"
"Tidak. Tidak mungkin, mereka itu orang baik, orang alim, .... Ibu-ibu 'kan tahu, seminggu dua kali mereka ngajar ngaji anak-anak kita. Gratis pula !"
"Aah, Ibu Niniek, seperti tidak tahu saja , .... Sekarang ini 'kan sudah biasa, 'pura-pura alim dan suci, hanya untuk menutupi kebusukan-nya !"
"Astaqfirullah, jangan berprasangka seperti itu, .... Ingat, bu  Aas, saat Ujang anak ibu Aas kejang-kejang, Mbak Arumi yang mengantar ke rumah sakit. Mbak Arumi yang nyetir, mana perut-nya sudah besar, ..."
"Jadi apa saja, ibu-ibu yang akan dibeli ? Siapa yang sudah bisa saya hitung duluan, belanjaan-nya" , Pak Gundul yang sedari tadi diam, kini menyela.
Marintan, yang datang belakangan dia langsung mengambil dua plastik sayuran daun melinjo, tomat, kacang panjang, jagung muda, bungkusan kecil terasi, ikan asin jambal roti dan minta dibungkuskan rempah-rempah bumbu sayur asem.
Marintan, masih sempat mendengar gosip asyik itu. Dia tidak ambil peduli. Dia setuju yang dihitung Pak Gundul, diulurkannya selembar Sukarno-Hatta.