Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Humaniora | Tempe - Tahu Kini Ada yang Haram

18 Juni 2022   23:24 Diperbarui: 18 Juni 2022   23:26 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humaniora |  Tempe - Tahu Kini Ada Yang Haram

Soetiyastoko

Perlindungan konsumen muslim dari terpapar produk fisik dan non fisik haram, sudah saatnya lebih ditingkatkan

Selama ini konsumen muslim telah diusahakan pemerintah, dilindungi dari produk fisik yang bahan bakunya mengandung sesuatu yang sejak awal adalah haram.

Seperti binatang tertentu yang diharamkan atau pun binatang yang awalnya halal, namun cara penyembelihan tidak sesuai syariat yang ditetapkan. Bisa juga karena sudah mati, tanpa sebab disembelih.

Masyarakat muslim juga paham, bahwa sesuatu yang sejak awalnya halal, dapat berubah menjadi haram. Contohnya, tahu, tempe, beras, sayuran. Semua itu sejak awal adalah halal.

Namun jika dibeli dengan uang yang didapat dari perbuatan maksiat

Maka bahan makanan tersebut di atas yang awalnya halal, berubah menjadi haram hukumnya.

Perbuatan maksiat itu diantaranya; mencuri, korupsi, manipulasi, penipuan, riba, pemerasan, sogok-menyogok, suap-menyuap, spekulasi, judi. Pelacuran, jual-beli narkoba, minuman beralkohol dlsb. yang menyalahi hukum negara dan ketentuan agama.

Maka tak heran, sekarang ini ada orang-orang yang sangat berhati-hati bila mendapat undangan makan gratis, dari seseorang.

Takut bila hidangan tersebut haram, karena dibeli dengan uang hasil maksiat.

Berjaga-jaga dan menghindari makan makanan halal yang berubah menjadi haram, karena dibeli dengan uang haram.

Walaupun itu nasi pecel, rendang daging sapi dan pepes ikan gurami. Bisa juga makanan jadi dalam kemasan, sekalipun disitu terpampang tanda sertifikat halal.

Kini hal-hal haram yang perlu diwaspadai kaum muslimin terus bertambah, selain yang tersebut di atas.

Teknologi komunikasi dalam jaringan, selain bermanfaat positif. Juga dapat menjadi sarana penyebaran tawaran dan ajakan maksiat yang masif.

Riba, membungakan uang,  dalam kehidupan seorang muslim, adalah sesuatu yang dihindarkan. Sebab, itu perbuatan yang dilarang. Tergolong perbuatan maksiat yang amat berat dosanya.

Setiap orang yang terlibat dalam peristiwa riba, termasuk orang-orang yang digaji atau diupah dari proses riba, mendapatkan dosa yang sama. Tanpa terkecuali.

Tentang hal di atas, pembaca yang budiman dapat lebih jelas, dengan membaca tulisan para pakar, termasuk perlu membaca fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Interest/Faedah. Silahkan googling.

Riba, kini telah bertransformasi dalam berbagai bentuk. Tidak hanya dengan sebutan: kredit, leasing, kartu kredit. Namun kini juga "berbaju bayar kemudian / pay later".

Termasuk tawaran wisata, rekreasi, makan mewah dlsb.

Prinsipnya, hutang berbunga. Nikmati dulu produknya, urusan bayar, ditunda dulu. Dibayar setelah jangka waktu tertentu, bahkan dicicil sekian bulan.

Tentu saja dikenai bunga.

Tawaran serupa yang kini gencar diiklankan di televisi.

Seolah-olah dewa penolong, untuk lampiaskan semangat hedonisme. Meningkatkan pola konsumtif, yang semestinya belum jadi kebutuhan pokok yang mendesak.

Bahkan voucher game, ticket konser juga ditawarkan dengan pola yang sama. Kredit, tentu saja berbunga.

Televisi, berbagai media sosial dengan mudahnya menawarkan hal-hal di atas.

Iklan-iklan maksiat, hal-hal haram dengan gencar diiming-imingkan.

Sudah saatnya iklan-iklan sejenis di atas dibubuhkan label "bukan untuk muslim taqwa", jika membubuhkan tulisan "produk haram" dianggap terlalu keras. Dipersepsi sebagai penghinaan.

Langkah di atas perlu segera ditindak lanjutkan. Perlindungan yang demikian adalah untuk keselamatan umat di dunia dan akhirat.

Jangan dibiarkan pelanggaran yang demikian, jadi dianggap sepele dan biasa.

Setiap kali, umat mendengar ajakan meningkatkan taqwa. Namun kini, ajakan merusak ketaqwaan jauh lebih gencar.

Kita bersama-sama meneriakan pentingnya perbaikan mental bangsa. Memacu dilaksanakannya Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Namun bagaimana bisa terwujud, bila setiap hari dipertontonkan keburukan-maksiat. Di berbagai media.

Hal-hal terlarang secara hukum negara yang berlaku, serta haram dalam pandangan agama.

Kapan revolusi mental bergulir, bila hal-hal buruk tidak segera dihentikan ?

***

Pagedangan, Sabtu 18 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun