Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosbud | Obrolan Warung Ropang

4 Juni 2022   07:15 Diperbarui: 4 Juni 2022   07:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SosBud  |  Obrolan Warung Ro-Pang

Soetiyastoko

Masih terbayang masa-masa kuliah, tinggal di rumah petak. Kontrak tahunan, satu kamar mandi untuk ramai-ramai. Bergantian.

Tempat itu perkampungan, rumah-rumah diselingi sawah, kolam ikan, pekarangan pohon pisang dan buah-buahan lainnya. Penduduknya ramah dan saling kenal. Itu dulu, hampir 50 tahun yang lalu.

Suatu ketika, musim penghujan terlambat datang. Air di dasar sumur, jadi tak cukup untuk keperluan MCK, mandi-cuci- kakus. Hanya bisa untuk minum.

Tukang gali sumur, panen pekerjaan. Sibuk gali sana-sini, sumur kami tak kunjung dikerjakan.

Didesak kebutuhan bersama, kami tiba-tiba merasa bisa dan kuat memperdalam sumur. Ternyata di dalam sana, awalnya terasa dingin, lama-lama jadi pengap dan panas.

Tapi rasa gengsi dan solidaritas, terbukti menguatkan diri, terus mengujamkan linggis. Demi air bisa tersedia lagi. Bergantian menggali.

Cerita-ku ini, pagi itu tak ada yang menyela. Pengunjung Warung saat itu hanya tiga orang dan tua-tua. Mungkin karena masih pagi, hanya pensiunan yang cari penanggap atau pendongeng yang sudah nongkrong. Tapi yang datang itu bukan Pak Albert dan Bang Iwan, kawanku.

***

Air sumur itu, jangankan untuk mandi, ... Untuk memenuhi syarat sembayang pun tak cukup. Kami tak punya air untuk berwudhu. Hanya bisa mengisi panci dan teko. Direbus untuk minum.

Sebelumnya diantara kami ada yang masak sendiri. Ngirit, sebagian makan di warung. Sesekali makan daging sapi atau gorengan ayam. "Aah, terasa mewahnya !" Seru seorang kawan.

"Aku dikampung, bisa makan daging sapi atau kambing, terutama saat hari raya kurban. Idul Adha. Dan ayam goreng atau panggang di Idul Fitri, .... Itu amat hebat !" Memori nikmatnya tersimpan di lidah dan mulut, berminggu-minggu !"

Itu hiperbola, kata guru bahasa Indonesia-ku. Tapi bagi Tohir, kawanku, itu fakta.

"Kan, ada ikan "

"Yaa, kami sering menangkap ikan, tapi untuk dijual dikota. Untuk beli minyak tanah, minyak kelapa dan ikan asin, ..."

"Lalu telur ayam dan telur bebek , ...?"

"Semua dijual kekota, kecuali yang besar-besar ditetaskan. Lima atau delapan butir, untuk jamu. Kuning-nya kami telan mentah-mentah, begitu saja. Kecuali bila punya madu dari lebah liar atau jeruk nipis. Diteteskan, sebelum masuk mulut, ..." Celoteh seorang teman berasal dari perbatasan antara Solo dan Jogya.

"Kalau ibu-ku, biasa juga seperti itu, ... Tetapi ketika ayah, menambahkan kecap pada kuning telur sebelum 'glek' ditelan.  Saat itu kami tak punya madu dan jeruk nipis.
Selanjutnya ibu pun melakukan yang sama. Aku pun dibiasakan demikian. Terutama jika  menghadapi ulangan di sekolah.
Biar pintar, kata ibuku"

Aku tadi, makan apa yaa ? 'Kok jadi hal-hal seperti itu yang kita bicarakan ? Atau karena terguncang-guncang di mobil tua-ku ?

Aku ingat, sekarang. Sebabnya bukan jalan yang buruk, tapi sisa-sisa semen dari truk pembawa adonan beton yang berceceran dan terlindas ban. Selain  polisi tidur yang gendut-gendut, berbaris-baris.

Aku belum jujur, sebenarnya penyumbang ketidak nyamanan lainnya, adalah, peredam kejut-schockbreaker mobil-tua-ku. Sudah tak berfungsi dengan baik. Ditambah pelapis antar persendian diantara tulang-tulangku sudah tipis.

***

Tidak tahu persis, apa yang membelokan percakapan tadi.

Warung roti panggang itu, seperti memfasilitasi semua orang untuk saling bicara, walau belum saling kenal. Setiap orang bisa nimbrung bicara dan bebas berpendapat apa saja.

Mereka datang dari berbagai kalangan.

Obrolan-obrolan yang timbul tampak terus "disiram minyak" oleh empunya warung, berupa pertanyaan dan sedikit komentar pendek yang menggelitik.

Suasana yang dia bangun, membuat pembeli ingin selalu kembali datang ke warungnya. Bukan rindu roti panggang atau berbagai kopi sachet-nya, tetapi rekreasi ngobrol. Bercengkrama bebas.

***

Sekarang pembicaraan berawal kemacetan jalan.

"Dari rumah kesini, sebenarnya tidak jauh, tapi jalan kaki setengah jam, belum sampai"

"Gimana, mau cepat, Pak, .... Separuh jalan dipenuhi tanah bekas galian dan material perbaikan selokan. Mana banyak sekali mobil dan sepeda motor terjebak macet, ..."

Termasuk aktivitas yang setiap tahun dilakukan, pembangunan-perbaikan kaki lima.

"Biasa-lah, .... karena .... Sepertinya memang dirancang hanya tahan 6 atau 7 bulan saja".

Pengunjung yang lain nimbrung,

"Demi terus tersedianya lapangan kerja padat karya, ... dan ... pasar bagi penjual bahan bangunan, ..."

 "Termasuk berbagi rejeki untuk pemborong, pemenang proyek. Lalu bagi-bagi rejeki, pada para bohir dan pengawas. Tahu sama tahu-lah, ....Supaya roda ekonomi tetap berputar" , sambung yang lain.

Mereka terus melanjutkan pembicaraan, kini berkisar keberuntungan diseputar kaki lima, selokan yang ditutup agar jalan terlihat lebih lebar. Termasuk deretan keramik warna kuning, dengan tekstur kotak-kotak, 3 senti-meteran.

Fungsi tekstur itu, sebagai panduan jalan, bagi tuna netra. Sebagai bentuk kepedulian dari mereka yang mampu melihat.

***

Biasa, perbaikan dimulai sekitar-setiap oktober, selesai februari. Sisa anggaran, lahan basah, tahu sama tahu.  Harus dihabiskan, agar pengajuan tahun berikutnya, tidak dikurangi.

Bukan tentang halal-haram, atau modal maksiat, biaya beli jabatan, saatnya yang lurus disebut bengkok, yang belok dibilang lempeng.

Biarlah yang seperti itu jadi bahan debat dan saling tuduh para politisi. Mereka ahli dalam mengkritisi hal-hal seperti itu. Itu sudah jadi pekerjaannya, tugasnya selaku wakil Rakyat.

Orang-orang pinggiran seperti diriku, tak punya cukup enerji, untuk bersuara lantang mengingatkan. Tentang hal-hal yang tak pantas terjadi dan bikin ngilu yang masih punya nurani.

Ada seloroh yang dianggap kebenaran baru, "Cari yang haram saja, susahnya bukan main. Apalagi mengais rejeki yang halal, jangan tanya sulitnya, ..."

Sebuah pernyataan yang katanya bersumber gelap mata dan buta mata hati.

Kawan, kita semua yang pernah sekolah, pasti pernah mendapat petuah tentang baik-buruk, sopan-santun. Kita juga belajar agama, setidaknya selama 12 tahun, jika sampai SLA.

Kita tidak bisa mengelak, bahwa seolah-olah belum tahu agama. Dengan alasan orangtua tidak mengirim ketempat belajar agama diluar jam sekolah.

Kita juga tidak bisa menyalahkan, bahwa orangtua tidak memberi contoh, karena terlalu sibuk menjaga harkat dan martabat dari sisi financial.

Yaa, yaa, yaaa, obrolan di warung roti panggang, memang mengasyikan. Pasti tak dapat kalian temukan di acara pagelaran musik jingkrak-jingkrak. Atau meliuk-liuk seronok, dengan musik penuh kendang, di acara hajatan tetangga.

Sampai jumpa di obrolan berikutnya. Jangan lupa jaga kesehatan.

***

BPA - BSD, Sabtu 4 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun