Perhatian Wadiarini Anya terbagi. Antara suara radio dan mata yang menuntun langkah anggunnya. Cara berjalan sesuai yang diajarkan model senior, guru lembaga pendidikan kepribadian.
Tas selempang hitam bergayut dipundak. Telapak tangan kanannya terbuka, dilekatkan di dahinya. Bukan sedang menghormat, tapi matahari melenggang di birunya angkasa. Tanpa awan. Serasa malam tahun-baruan, bakar-bakaran daging sapi, ayam dan jagung. Berbumbu super pedas. Memicu sekujur kulit resah, keringat ingin membuka pintu. Keluar.
Pintu kaca itu mempersilahkannya masuk. Terbuka sendiri tanpa disentuh, hawa sejuk tersenyum menyambutnya. Batalkan sebagian keringat yang belum berkesempatan muncul.
Kafetaria universitas ini melebihi restoran-restoran kelas papan tengah. Luas dan tertata lugas. Enak disinggahi, walau hidangannya biasa saja. Beragam menu-nya, sebelas-duabelas dengan Warung Tegal.
Bedanya, piring-piringnya tebal, lebar dan relatif datar. Tidak cukup cekung. Kecuali mangkoknya. Sendoknya pun enak dipegang, tidak membuat jari terganggu hingga bisa terluka.
Bukan dari plat tipis yang di-pres, seperti sendoknya abang-abang bakso di pinggir jalan.
Kalau pas beruntung, bisa menikmati musik hidup. Akustikan. Lagu-lagu bosanova, jaz dan yang riang, paduan kwartet ala latin.
Pernah ada yang protes: "Kok tidak ada musik dangdut, pop, atau keroncong, blues, rock n roll ?, ... Ada-in dong !""
"Maaf, Bang, Mas, Kang, Bro, Uda, kami memang didesain seperti ini, ...."
"Masak ! Musik didesain juga ! Emangnya dekor interior-eksterior ! Ada-ada saja kamu. Aneh !" Sergah yang lain.
"Benar, benar-benar aneh !"
"Tidak aneh, kalian saja yang aneh, .... Coba loe bayangin, loe lagi makan rujak cingur di sini, ... sementara di panggung ada yang rambutnya acak-acakan, ...Jingkrak-jingkrak nyanyi rock ..."