Sekali lagi, apa untungnya penonton menyimak omongan yang saling tuding. Sekaligus, pembelaan-pembelaan diri, yang muncul, dipancing pertanyaan para reporter itu ?
"Itu bukan wilayah kita, untuk menemukan jawaban !" Celetuk Pak RW, sambil memindahkan kuda. Mundur kebelakang. Dia kembali terdesak. Sudah kalah dua babak.
Pos ronda, semakin asyik untuk ngobrol ngalor-ngidul.
Ada yang menyeduh kopi. Ada yang baru datang, bawa kukusan singkong.
"Pak RT, gulanya habis !" Seruan itu diarahkan padaku. Yaa, aku lupa, menyuruh Potas untuk mengisi toples plastik itu.
Aku kembali mengetik di tabletku. Sedang mengais rejeki. Enaknya jadi penulis masa kini, adalah dukungan teknologi. Tak seperti dulu jaman mudaku. Harus duduk didepan mesin ketik dan suaranya berisik.
Tidak perlu stock kertas dan amplop, lalu ke kantor pos. Antri di loket "Kilat Khusus" .
Enaknya di loket seperti itu, tidak perlu menempelkan perangko. Tinggal "dog-dog-dog, di cap".
Aah, aku jadi ingat, protes-protes gadis-gadis cantik sahabat pena-ku. "Kirimnya, 'gak usah kilat-khusus, ... Biasa saja, pakai perangko. Aku 'kan koleksi perangko !"
Aneh, kalau ditelaah dari kacamata anak "jaman now". Tinggalnya sekota, bukannya didatangi saja mestinya. Bukan surat-suratan. Ribet.
Aah, mereka tidak tahu, rasanya gelisah. Menunggu datangnya Pak Pos. Termasuk kecewa bila surat-surat yang diantarkannya ke rumah, tidak ada yang bertuliskan namaku.
Anak jaman gawai, tidak tahu arti warna kertas surat. Termasuk lipatan yang berarti kangen atau pernyataan kalbu, jatuh cinta ! Mereka juga tidak mengerti, mengapa suara bel sepeda Pak Pos, terdengar merdu. Mereka merasa aneh mendengar lirik lagu jadul yang bertajuk "Mister Postman".
Kembali ke jalur, ....
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!