Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Wad, ..."

2 Desember 2021   15:16 Diperbarui: 2 Desember 2021   21:53 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Wad, ..."

Oleh : Soetiyastoko

"Wad, ..." , beraninya dia menyapaku, dengan sebutan seperti itu. Walau itu memang penggalan namaku. Tetapi tak seperti itu juga mestinya.

Selalu begitu, tiap kali dia menyapaku. Dan .... Itu membuatku badmood bahkan ill feel. Merusak konsentrasiku menyimak paparan Pak Dosen kriting gondrong dan beranting sebelah. Dosen favorit teman-temanku, aku juga suka dia.

Wadiarini Anya, bagiku adalah nama  bernada indah, pemberian ayahku. Ibu-ku selalu menyebutnya lengkap. Nenek-ku bilang "susah amat" namanya, walau beliau pun akhirnya terbiasa mengikuti cara ibu, memanggilku.

Teman-teman baru-ku di kampus, ikut memanggilku seperti itu. Mereka mendengar cara  teman SMA-ku yang selalu menyebut lengkap namaku. Kalau tidak lengkap, tak akan kutoleh dan pasti tak kupedulikan.

Ada lima orang, enam termasuk aku yang bukan perantau. Lainnya dari berbagai pelosok Nusantara. Empat orang dari negara tetangga.

Seperti biasanya, dosen-ku yang "mahiwal" itu, mulai meng-absen. Dia selalu menyebut nama panggilan, lalu nama lengkap mahasiswanya. Matanya selalu mencari wajah yang disebut, untuk mempertahankan daya ingat, katanya. Kami diharuskan berdiri, saat menyahut.

***

Beliau membagi kelompok-kelompok, berdasarkan urutan nama di lembar absensi. Lalu diberi tugas kelompok.

Wadiarini Anya, namaku disebut, lalu, Warior Lokomotif, Warsini Wulandari, Warsono Sersan Mayor dan Wawan Sudiawan.

Wawan teman sekelasku di SMA, sejak dia mengirim surat cinta padaku, aku tak pernah menjawab sapaannya.
Sebelumnya pun kami tidak pernah ngobrol. Tapi dia suka curi-curi pandang. Kuanggap biasa saja, karena banyak cowok di sekolah yang seperti itu.

"Secara" , kata mereka, aku adalah salah satu bintang. Aku, sih, merasa biasa-biasa saja. Tapi untuk pelajaran kimia dan matematik, nilaiku memang selalu sempurna. Berkat bimbingan rutin di rumah, ibu yang selalu mengajariku.

Sampai-sampai beberapa genk-ku di SMA, ikut belajar di rumahku. Berkat ibu-ku, nilai raport mereka untuk pelajaran itu, tidak ada yang di bawah delapan puluh.

Rumahku dipilih untuk mengerjakan tugas kelompok. Karena mudah dijangkau angkutan kota. Rumahku tepat dipojok sebuah per-empatan jalan utama.

Halaman yang lumayan luas itu, tak lagi bertaman indah yang terawat. Bertahun-tahun dulu, pernah seperti itu. Kini disewakan, dipenuhi beberapa pedagang makanan khas daerah. Semuanya makanan kesukaan bapak dan ibuku.

Rumahku, memang rumah tua, peninggalan belanda. Kamarnya banyak dan luas-luas. Teras belakang, seberang kolam renang, di situ teman-temanku biasa berkumpul dan belajar bersama.

Ibu dan bapakku, senang bila banyak temanku datang, meramaikan teras belakang. Itu sejak dulu. Bahkan sebelum aku sekolah. Mereka mengundang guru tari, anak-anak temannya bapak dan ibu, diajaknya belajar menari bersamaku. Sekaligus, memberi kesempatan untukku bersosialisasi. Tanpa perlu jauh-jauh meninggalkan rumah.

***

Pagi hari ini, kelompok tugasku berdatangan. Sejujurnya baru kali ini aku tidak suka kedatangan orang.

Bukan hanya Wawan yang tidak bertegur sapa denganku. Tepatnya, aku tak suka disapanya. Terutama orang yang hanya menyapaku, dengan kata "Wad, ... !".

Gila ! Aku harus jadi tuan rumah untuk mereka. Bagaimana mungkin aku harus berlaku ramah, sebagai tuan rumah.

Sebenarnya aku amat takut dengan suasana kaku. Tapi kali ini, bila suasana seperti itu, sampai terjadi. 100 % pasti karena diriku.

Aku ada akal, biar cepat bubar, tugas kelompok itu akan kutawarkan untuk kukerjakan sendiri saja. Jadi, mereka tinggal terima sudah kujilid, tugas itu. Mudah-mudahan mereka setuju.

Warior Lokomotif, penyelamat suasana. Teman asal dari Kabanjahe Sumatera Utara ini logatnya terdengar lucu, apalagi memang gemar melucu. Mimik wajahnya pun begitu. Sekaligus tampak periang.

Warsono Sersan Mayor, aku tidak mengerti, namanya kok seperti itu. Entah apa yang mengilhami orangtuanya saat memutuskan memilih nama itu.

Warior Lokomotif, seolah mendapat ilham, untuk membully Warsono Sersan Mayor. Setelah membaca papan nama ayahku, dalam ukiran artistik dari Batubulan, Bali. Terbaca "Danmen Sukahadinata, Direktur"

"Sersan Mayor, ini di rumah komandan resimen, Danmen, kau jangan macam-macam, yaa" Warior menatap wajahnya lalu ke wajahku.

"Maneh, sing sopan atuh
, Warior !" , sergah Wawan tak suka, nama ayahku dibuat bahan bercanda.

Aku tak bereaksi, pura-pura tak mendengar. Tiba-tiba, aku merasa tak suka, Warsini Wulandari yang anggun dan pretty bermanja-manja ke Warsono. Menurutku tidak sopan. Meski Warsono terlihat gerah terhadap sikap jelita  asal Kepanjen, Jawa Timur itu.

Wawan dan Warior saja yang tidak setuju, bila tugas kelompok itu kukerjakan sendiri. Alasannya, "Kita perlu diskusi untuk meningkatkan pemahaman dan membiasakan kerjasama, ... " , kata Warior Lokomotif, yang tak mau disebut nama marga-nya.

Kalimatnya itu, di-iyakan Wawan dengan mimik serius. Sambil mencuri pandang padaku. Seperti dulu ketika di jalan Belitung, gedung megah sekolahku. Aku ingat, tidak cuma dia yang sering curi pandang wajah-ku. Tapi dia yang paling tak kusuka.

 "Aku ikut, aja, yang kalian mau", seru Warsini kepadaku. Warsono mengangguk. Aku baru sadar, ternyata dia itu keren. Tinggi, tegap, kasep, walaupun agak coklat kehitaman. Pas dengan rambutnya yang keriting semrawut.

"Sudah, gini saja, aku akan kerjakan sampai tuntas, ... Selanjutnya kalian pelajari, bila ada yang dianggap perlu ditambah, dikurangi atau dikoreksi, .... Kalian tulis. Selanjutnya kuperbaiki, ... Okay ?!" , kataku, sok bisa dan maksa.

Saat itu, aku hanya ingin belajar kelompok cepat bubar. Aku makin tak suka melihat Warsini duduk dekat-dekat Warsono.

"Wadi-arini Anya, aku pamit pulang, yaa, ... "

"Wadi-arini Anya, terima kasih jamuannya, yaa, ..."

Satu-satu, mereka pamit dengan caranya sendiri.

Terakhir, Warsono berucap, "Wad ! Maturnuwun, bakpau-nya enak" . Aku tak suka mendengarnya. Bukan karena suaranya yang "nge-bass" atau Warsini yang gelendotan.

Tapi karena dia menyebutku, "Wad !" , mending kalau aku anggota Kowad. Aku jadi ingat ibu dan bapak-ku tak ijinkan-ku jadi tentara.

***

Malam-malam ada yang mengetuk pintu. Tak biasa ada tamu. Pintu itu tinggi dan besar, di depannya tempat tukang soto madura memasak. Meladeni pelanggannya.

Tak ada yang membukakan pintu. Pembantu kami biasanya yang terlebih dulu menemui, menseleksi tamu. Kami tak biasa menerima tamu, setelah senja berlalu.

Para sahabat dan rekan ayah-ibuku, sudah maklum atas sikap kami. Mereka sengaja telah diberitahu. Termasuk teman-teman sekota-ku.

Pintu itu masih terdengar diketuk, Pak Tiarum, bos soto madura itu mengucapkan salam dan menyebut kata, sebuah nama. Tapi tak cukup jelas di telingaku.

Dengan agak jengkel dan gontai aku menuju pintu. Komputer belum kujeda, tugas itu belum kelar. Buku-buku referensi masih berserakan.

"Aduh, .... ! Siapa sih yang datang, nggak tahu aturan. Bertamu malam-malam".

Pintu terbuka sedikit, tertahan rantai pengaman. Bos soto itu  menyebut "Ada orang redin-cantik sekali dan ganteng, katanya teman kuliah neng Wadiarini Anya, ... Dia, maksa, mau ketemu eneng, ..."

Mau ngapain dia, bisik hatiku, .... Salahku sendiri, dia belum kuberitahu, kapan bisa mengunjungiku. Tapi bukan cuma dia yang belum tahu. Semua teman kuliah yang asalnya dari luar kota, pasti belum tahu. Aturan keluargaku, tentang urusan jam bertamu.

Pintu sedikit kututup, untuk bisa melepas rantai pengikatnya.

"Hallo nona Wadi-arini Anya, yang cantik, .... tadi kami baru selesai makan soto. Enak. Lalu pengen ketemu kamu , .... " Warsini Wulandari nyerocos, sambil melangkah masuk dengan gaya genitnya. Diikuti Warsono Sersan Mayor.

"Eeh,  Wadiarini Anya, ruang tamu-mu keren banget, mirip galeri seni, .... Kemarin kami tidak lewat sini, ... Aku numpang selfi yaa, .... guci-guci nya besar dan keren, .... Itu lukisan Affandi yaa, .... ", tangannya menunjuk dinding.

Aku belum menjawab, dia sudah jeprat-jepret selfi. Kadang posenya merangkul Warsono dan aku.

Aku tidak suka, tapi sulit mengatakannya. Mestinya mimik wajahku tak bisa bohong.

Tak lama kemudian mereka duduk, tanpa kupersilahkan. Mereka terkesan amat "feeling at home" , tak peduli ekspresi wajahku. Mereka asyik sendiri.

"Wad, ... ! Sudah sampai di mana tugas kita ?"

"Sedang kukerjakan, sekarang kalian pulang saja, ... Biarkan aku lanjut  mengerjakannya, ... " , jawabku ketus.

Pintu sudah kututup, rantai pengaman kukaitkan. Terdengar pemberitahuan, ada pesan masuk di gawai-ku.

Kulihat foto-foto selfi dari Warsini. Ada wajahku dan wajah Warsono. Kuamati berkali-kali.

Malam itu, waktuku habis untuk memandangi sang Sersan Mayor. Sedangkan kebencian jadi menggumpal pada Warsini cantik yang genit itu.

Pembaca, apa sebenarnya yang bergolak dibenak-ku.

"Wad !"
"Wad !"
"Wad !"

Tiba-tiba panggilan itu, terasa mesra dan indah ditelingaku.

***

Catatan :

"Mahiwal" = lain dari yang lain, berbeda, unik. Bhs Sunda. "Redin" = cantik. Bhs Madura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun