Dengan agak jengkel dan gontai aku menuju pintu. Komputer belum kujeda, tugas itu belum kelar. Buku-buku referensi masih berserakan.
"Aduh, .... ! Siapa sih yang datang, nggak tahu aturan. Bertamu malam-malam".
Pintu terbuka sedikit, tertahan rantai pengaman. Bos soto itu  menyebut "Ada orang redin-cantik sekali dan ganteng, katanya teman kuliah neng Wadiarini Anya, ... Dia, maksa, mau ketemu eneng, ..."
Mau ngapain dia, bisik hatiku, .... Salahku sendiri, dia belum kuberitahu, kapan bisa mengunjungiku. Tapi bukan cuma dia yang belum tahu. Semua teman kuliah yang asalnya dari luar kota, pasti belum tahu. Aturan keluargaku, tentang urusan jam bertamu.
Pintu sedikit kututup, untuk bisa melepas rantai pengikatnya.
"Hallo nona Wadi-arini Anya, yang cantik, .... tadi kami baru selesai makan soto. Enak. Lalu pengen ketemu kamu , .... " Warsini Wulandari nyerocos, sambil melangkah masuk dengan gaya genitnya. Diikuti Warsono Sersan Mayor.
"Eeh, Â Wadiarini Anya, ruang tamu-mu keren banget, mirip galeri seni, .... Kemarin kami tidak lewat sini, ... Aku numpang selfi yaa, .... guci-guci nya besar dan keren, .... Itu lukisan Affandi yaa, .... ", tangannya menunjuk dinding.
Aku belum menjawab, dia sudah jeprat-jepret selfi. Kadang posenya merangkul Warsono dan aku.
Aku tidak suka, tapi sulit mengatakannya. Mestinya mimik wajahku tak bisa bohong.
Tak lama kemudian mereka duduk, tanpa kupersilahkan. Mereka terkesan amat "feeling at home" , tak peduli ekspresi wajahku. Mereka asyik sendiri.
"Wad, ... ! Sudah sampai di mana tugas kita ?"