Wawan teman sekelasku di SMA, sejak dia mengirim surat cinta padaku, aku tak pernah menjawab sapaannya.
Sebelumnya pun kami tidak pernah ngobrol. Tapi dia suka curi-curi pandang. Kuanggap biasa saja, karena banyak cowok di sekolah yang seperti itu.
"Secara" , kata mereka, aku adalah salah satu bintang. Aku, sih, merasa biasa-biasa saja. Tapi untuk pelajaran kimia dan matematik, nilaiku memang selalu sempurna. Berkat bimbingan rutin di rumah, ibu yang selalu mengajariku.
Sampai-sampai beberapa genk-ku di SMA, ikut belajar di rumahku. Berkat ibu-ku, nilai raport mereka untuk pelajaran itu, tidak ada yang di bawah delapan puluh.
Rumahku dipilih untuk mengerjakan tugas kelompok. Karena mudah dijangkau angkutan kota. Rumahku tepat dipojok sebuah per-empatan jalan utama.
Halaman yang lumayan luas itu, tak lagi bertaman indah yang terawat. Bertahun-tahun dulu, pernah seperti itu. Kini disewakan, dipenuhi beberapa pedagang makanan khas daerah. Semuanya makanan kesukaan bapak dan ibuku.
Rumahku, memang rumah tua, peninggalan belanda. Kamarnya banyak dan luas-luas. Teras belakang, seberang kolam renang, di situ teman-temanku biasa berkumpul dan belajar bersama.
Ibu dan bapakku, senang bila banyak temanku datang, meramaikan teras belakang. Itu sejak dulu. Bahkan sebelum aku sekolah. Mereka mengundang guru tari, anak-anak temannya bapak dan ibu, diajaknya belajar menari bersamaku. Sekaligus, memberi kesempatan untukku bersosialisasi. Tanpa perlu jauh-jauh meninggalkan rumah.
***
Pagi hari ini, kelompok tugasku berdatangan. Sejujurnya baru kali ini aku tidak suka kedatangan orang.
Bukan hanya Wawan yang tidak bertegur sapa denganku. Tepatnya, aku tak suka disapanya. Terutama orang yang hanya menyapaku, dengan kata "Wad, ... !".
Gila ! Aku harus jadi tuan rumah untuk mereka. Bagaimana mungkin aku harus berlaku ramah, sebagai tuan rumah.