Apa yang terjadi pada diri Novanto, kasus E-KTP dan penyebutan nama-nama bukan lagi menjadi sebuah alasan pembersihan korupsi, tapi sudah masuk ke dalam bahasa-bahasa politik. Ucapan Novanto seperti hal-nya dengan ucapan Nazaruddin adalah “ucapan titipan”. Novanto sebagai alat barter menutupi dosa dosa besar korupsinya di masa lalu, mulai dari kasus Bank Bali, penyelundupan beras impor Vietnam, dugaan suap PON di tahun 2012 sampai E-KTP ia sudah tersudut habis, satu satunya jalan adalah transaksi atas kasusnya, dan ini dimanfaatkan benar oleh jaringan gelap Sudirman Said di KPK.
Untuk menggambarkan bagaimana ucapan Nazaruddin sebagai “ucapan titipan” sebagaimana hal-nya Novanto yang berusaha menjadi “Justice Collaborator” (JC), adalah saat Jusuf Kalla (JK) mengunjungi Irman Gusman pada 29/9/2016, sesungguhnya JK hanya menjenguk Irman Gusman hanya beberapa menit, yang ditemuinya lama adalah Nazaruddin. Dalam pertemuannya dengan Nazaruddin, JK minta agar Nazar bersaksi soal Novanto untuk kasus E-KTP, kalau ini diangkat dan menjadi bukti kuat, terbukti sudah ada benang merah antara : Nazaruddin, JK, Sudirman Said dan Jaringan Gelap KPK untuk bermain politik.
Hal yang sama juga terjadi pada Novanto dalam penyebutan fakta fakta persidangan. Disebutkannya nama Puan Maharani dan Pramono Anung oleh Setya Novanto adalah bagian dari permainan Sudirman Said.
Operasi politik penghancuran basis basis PDIP oleh kelompok Sudirman Said sudah menjadi skenario politik Sudirman Said di Jateng, pertama saat ia mengucapkan “Tidak Nyaman Jateng disebut Kandang Banteng”, maka basis basis politik Kandang Banteng harus dihancurkan, ini artinya wilayah pendukung Jokowi terkuat harus dibereskan. Ada hampir 13 juta suara masuk ke Jokowi, saat Pilpres 2014 dan misi Sudirman Said bukan sekedar masuk dalam pertarungan Pilkada Jateng 2018, tapi juga tugas utamanya adalah menghancurkan basis suara Jokowi dalam hal ini yang muncul ke publik adalah menghabisi PDIP dengan menghadapkan PDIP pada KPK.
Jaringan gelap Sudirman Said di KPK, paham bahwa Jokowi adalah seorang “Grand Master” dalam opini publik. Jaringan gelap KPK milik Sudirman Said tak mungkin bisa mengalahkan opini itu dan mereka tidak memilih Jokowi sebagai sasaran tembak langsung, namun mereka melihat PDIP amat lemah di mata publik, dan sasaran yang paling bisa menjadi sasaran olok-olok publik adalah Puan Maharani.
Tujuan penyebutan Puan Maharani atas titipan Sudirman Said pada Novanto, adalah melemahkan basis basis suara PDI Perjuangan di Jateng. Puan Maharani adalah politisi terkuat di Jateng, dia meraih suara hampir 370 ribu suara pada Pilkada Jateng 2014. Namun bukan itu saja arti penting Puan bagi Jateng, dia adalah penjaga suara di seluruh wilayah Jateng. Dengan menyebut Puan Maharani, dan menjadikan Puan sebagai mainan opini publik, maka operasi darat penghancuran basis basis kandang Banteng akan segera di eksekusi. Dengan begitu, “Operasi Penggerusan Wilayah Politik Jokowi” secara efektif bisa dilakukan.
Lalu sasaran berikutnya adalah Pramono Anung, ia adalah representasi PDI Perjuangan di Jawa Timur, operasi operasi politik jaringan gelap Sudirman Said di Jawa Timur sudah lama dilakukan, dan menggunakan kehebohan publik untuk menghancurkan basis suara PDIP, sekaligus sasaran jangka panjangnya adalah perebutan suara di Jawa Timur. Namun pesan politik Sudirman Said sebenarnya lebih mengarah pada “Saya sudah bisa menyentuh ke dalam ring satu Presiden RI”. Sudirman Said jelas memiliki dendam yang amat mendalam terhadap Jokowi karena dipecat dari Menteri ESDM dan dipermalukan oleh Jokowi dalam kasus PLN ketika Jokowi mengungkap banyaknya proyek proyek mangkrak PLN yang berasal dari jaringan bisnis Jusuf Kalla.
Apakah Sasaran Sesungguhnya ?
Sudirman Said dan Jaringan Gelap-nya KPK adalah drama penting dalam permainan politik di 2018-2019 dengan sasaran utamanya melumpuhkan kekuatan politik Jokowi pada 2019, hanya banyak yang tidak menyadarinya. Publik sekarang lebih terpesona pada hiruk pikuk Ahok, mengolok olok Amien Rais, menertawakan Prabowo soal 2030, sampai pada tebak tebakan siapa Cawapres Jokowi 2019 dan siapa yang akan menjadi lawan Jokowi setelah Prabowo agak ragu maju menjadi Presiden RI karena kekurangan logistik.
Publik tidak sadar bahwa ada permainan besar dengan memperalat KPK sebagai barter politik yang dilakukan sebuah faksi kuat di dalam tubuh KPK, dan membentuk jaringan gelap yang terkoneksi dengan Sudirman Said.
Ketidaksadaran ini bukan saja hinggap di tubuh publik secara umum, pihak analis analis politik juga masih terkecoh dan tidak sadar Sudirman Said bermain penting dalam permainan politik dengan memperalat KPK, dan tidak pernah ada investigasi serius soal hubungan Sudirman Said dan jaringan gelapnya di KPK.