Ada hal menarik bila kita bisa menyusun puzzle-puzzle dalam serangkaian cerita politik saat ini, seperti : naiknya Sudirman Said setelah dipecat Presiden Jokowi menjadi aktor penting dalam Pilkada DKI 2017 dan kemudian digadang gadang menjadi Gubernur Jateng menantang Ganjar Pranowo, hubungan Sudirman Said dengan Jusuf Kalla dan Anies Baswedan yang dibina setelah menggeser kelompok Yudi Latief serta gerbong Cak Nur di Paramadina, permainan kasar menendang Yudi Latief di Paramadina sekaligus menyingkirkan kelompok Nurcholish Madjid yang membuat isteri Nurcholish Madjid, Omi Komaria Madjid marah besar terhadap Anies Baswedan.
Kemudian pertemanan Sudirman Said dan Anies Baswedan itu berlanjut untuk menggempur Ahok, lalu tenggelamnya Setya Novanto dan rekayasa hinaan publik yang luar biasa, ada Bambang Widjajanto yang kemudian ramai diberitakan membentuk Komite Pencegahan Korupsi DKI yang kemudian muncul dipublik olok olok KPK KW 2, munculnya Abraham Samad dengan sasaran politiknya sebagai Cawapres 2019, ungkapan Wiranto agar KPK tidak terkesan main politik, sampai pada ucapan Ketua KPK Agus Rahardjo “bahwa ada peserta Pilkada 2018 bakal dijadikan tersangka” dan tentunya ada Ganjar Pranowo berdiri di sudut ring pertarungan Pilkada Jateng sedang berdiri di perahu kayu dengan gelombang besar bernama E-KTP dan menunggu lonceng berbunyi dari Gedung KPK di Jalan Kuningan. Lalu gong-nya dari seluruh rangkaian itu adalah desakan agar KPK mendiskualifikasi tersangka KPK ketika Survey Kompas menempatkan Ganjar Pranowo tertinggi dalam tingkat keterpilihan dimana Sudirman Said njomplang dihadapan Ganjar Pranowo.
Apa yang terjadi?, bagaimana kemudian puzzle-puzzle ini terbentuk, lalu apa yang ada sesungguhnya di balik kejadian kejadian ini. Apakah kemarahan Fahri Hamzah kepada KPK sudah mengantarkan kita pada jalan terbentuknya puzzle puzzle dibalik teka teki KPK yang akan membongkar sebuah permainan jorok di balik ini?, permainan tabu yang akan mengejutkan banyak orang dimana KPK menjadi menjadi sebuah tempat yang sudah tidak pada khittah-nya sebagai “mesin percepatan pemberantasan korupsi” telah menjadikan dirinya “mesin politik” satu kelompok tertentu. Mungkin Fahri bagi sebagian orang semacam ruang kegaduhan, tapi bila kita simak saja sedikit kicauan Fahri kita bisa mengambil benang merah dari situasi ini dan menjabarkannya ke dalam layar terkembang dunia politik kita, sebuah permainan tabu sedang dijalankan.
Permainan Tabu “Jaringan Gelap” KPK
Ingatkah anda pada kasus Abraham Samad, banyak orang fokus pada kesalahan Abraham Samad pada kasus pemalsuan identitas dan kelonan dengan perempuan bukan isterinya di sebuah Hotel, selalu itu yang diangkat angkat dan sengaja disodorkan ke publik, padahal kejatuhan Abraham Samad adalah sebuah permainan tabu yang sangat brutal, yaitu menjadikan Lembaga KPK sebagai alat tawar politik dimana ia menginginkan dirinya sebagai Cawapres Jokowi pada Pemilu 2014 dengan menggunakan KPK sebagai alat tawar kekuatan politik kepada PDIP . Kasus ini meledak pada bulan Januari 2015. Terbukti di bulan bulan ini Abraham Samad sudah tidak malu malu lagi mau nawarkan dirinya jadi Cawapres 2019.
Lalu kasus RJ Lino yang sudah sampai ditangan KPK, namun tidak dijalankan. Publik secara umum sudah tau siapa dibelakang Lino, kasus ini menjadi perhatian publik saat Komjen Buwas sebagai Kabareskrim yang memeriksa RJ Lino tiba-tiba dicopot, lalu RJ Lino tidak memiliki kelanjutan kasusnya. Kalau didalami pihak independen ada intervensi apa di KPK sehingga kasus Lino tidak berlanjut, ini harus dibuktikan. Siapakah orang kuat dibelakang Lino yang kemudian bisa melakukan intervensi KPK.
Kemudian Bambang Widjajanto (BW) masuk ke tim Anies Baswedan, dan banyak tim Anies adalah bagian tak terpisahkan dari Sudirman Said dimana konfigurasi pekerjaan dimasa lalu kemudian menjadi awal berdirinya KPK dan ini kemudian diakui oleh Anies Baswedan dalam sebuah statemen-nya di media pada 13 Desember 2017 bahwa “Sudirman Said berada di balik KPK” lalu bisakah dijelaskan ke publik dimanakan posisi eks pendiri MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) kemudian malah menjadikan kekuatan instrumen hukum yang sakral seperti KPK menjadi alat politiknya. Sudirman Said, Bambang Widjajanto, Anies Baswedan adalah bagian dari garis Jusuf Kalla.
Ingatkah anda dengan kasus Setya Novanto, siapakah yang bermain dibelakang itu?, siapakah yang punya rekaman soal percakapan Novanto, Reza Chalid dan Direktur PT Freeport Maroef Sjamsudin, siapakah yang merekam. Coba buka bukaan, yang merekam ini adalah KPK bukan seperti sangkaan publik yang mereka Maroef, dan itu bagian dari permainan politik, sayangnya pihak Golkar kubu Novanto-Luhut terlalu lugu membaca ini, dan membiarkan pertarungan internal Golkar antara kubu JK dengan kubu Novanto-Luhut. Kegaduhan internal Golkar ini baru beres beberapa tahun sesudahnya. Bila kemudian ada yang mengangkat bahwa yang merekam ini adalah KPK, kemudian di framing untuk membantai lawan politik, apakah ini bisa terjadi pada siapa saja? . Seperti memang ambisi Sudirman Said sejak ‘ngenger’ dengan Ari Soemarno di Pertamina untuk memukul Petral yang sebenarnya adalah pertarungan penuh dendam antara Riza Chalid dan gurunya Nazrat Muzzayin gara gara Riza Chalid maen dibelakang dengan pihak Keluarga Cendana sehingga gurunya Nazrat merasa disikat coba telusuri ini secara mendalam karena dari sinilah ambisi penguasaan energi sedang berlangsung dalam jaringan politik Sudirman Said.
Lalu bisakah Sudirman Said dituntut publik bagaimana dia kemudian menggunakan KPK saat akan masuk komposisi kabinet Presiden Jokowi sebagai Menteri ESDM, kalau ini dibuktikan dan ada jaringan Sudirman Said bermain maka permainan tabu akan terkuak lebar-lebar dimana Sudirman Said memanfaatkan oknum KPK untuk kepentingan politiknya. Karena saat itu ada seorang yang lebih kapabel dibanding Sudirman Said, akan dijadikan Menteri ESDM tapi ternyata oleh oknum KPK ada catatan merahnya, laporan ini dibuat Sudirman Said dan kemudian yang gol malah Sudirman Said menjadi Menteri ESDM.
Sudirman Said Hantam Ganjar Lewat Permainan Tabu KPK
Banyak tak disadari orang bahwa KPK dalam kasus kasus tertentu sudah bermain politik, atau sudah menjadi “alat politik” bagi kelompok-kelompok yang memiliki koneksi terhadap KPK. Sulit misalnya menjadikan Sudirman Said berasumsi lepas dari kelompok internal KPK untuk menjalankan kepentingan politiknya dalam pertarungan Pilkada Jateng 2018 dan “Operasi Gebuk Jokowi 2019”.