Saya paling suka dengan teh hijau karena pahitnya memberikan kesegaran tersendiri. Kalau teh hitam memang perlu gula agar lebih menyegarkan, jika tanpa gula rasanya seperti air mineral yang berwarna coklat kehitam-hitaman.Â
Ngomongin teh, saya memiliki pengalaman terkait dunia per-teh-an yakni, ketika meliput Aspegtindo yang diketuai oleh pemilik Sariwangi.Â
Ternyata, kisah teh tidak semanis es teh manis atau semewah teh di TWG Tea. Justru kisah teh di Indonesia cukup miris banget nih.Â
Dalam menjalankan bisnisnya, hulu teh sangat tertatih-tatih. Banyak tantangannya dari perubahan iklim, finansial, PPN 10%, monopoli perdagangan di pasar lelang, sampai mudahnya masuk produk impor teh ke Indonesia.Â
Tepat 1 September 2014, saya meliput diskusi antara asosiasi teh yang baru didirikan Asosiasi Pedagang Teh Indonesia (Aspegtindo) dengan Jakarta Futures Exchanges (JFX). Topiknya adalah mendirikan pasar fisik online untuk teh karena pasar lelang saat itu dinilai tidak adil.
Saat itu, Aspegtindo mengutarakan tekanan yang tengah dialami oleh sektor teh di Indonesia.
Pertama, kebijakan pengenaan Pajak pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% untuk semua komoditas pertanian, termasuk teh. Para pelaku pasar teh disebut keberatan karena petani komoditas itu meliputi segmen menengah ke bawah.
Kedua, pasar lelang yang tersedia di PT Kharisma Pemasaran Bersama (KPB) cenderung satu arah. KPB hanya menjajakan produk teh yang berasal dari PT Perkebunan Nusantara (Persero).
Direktur PT Sariwangi AEA saat itu Andrew Supit mengatakan, akibat sistem lelang KPB itu membuat nilai perputaran transaksi teh lebih kecil ketimbang komoditas lainnya.