Kepala Desa adalah sebuah jabatan politik di desa yang banyak diperebutkan oleh masyarakat akhir-akhir ini.
Kepala Desa merupakan seorang pemimpin yang mengepalai organisasi pemerintahan otonom terkecil dalam sistem administratif pemerintahan di Indonesia.
Sebagai pemimpin daerah otonom yang dipilih langsung oleh masyarakat, Kepala Desa mempunyai hak dan kewenangan yang cukup besar di desa yang ia pimpin, meskipun hanya berada di level pemerintah terendah di Indonesia.
Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Desa inilah yang membuat pemerintah membatasi masa jabatan Kepala Desa dengan periodesasi dalam waktu tertentu untuk menjaga agar Kepala Desa tetap tegak lurus dalam menjalankan amanahnya dan tidak terjebak dalam prilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Sejarah bangsa mencatat, baik dimasa pemerintahan Orde Lama maupun di masa pemerintahan Orde Baru, bahwa kekuasaan yang tidak terbatas cenderung akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang koruptif serta lebih mementingkan kepentingan pribadi, keluarga serta kelompoknya sendiri dibandingkan dengan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Atas dasar alasan-alasan diatas lah, pemerintah kemudian membatasi masa jabatan pemimpin-pemimpin pemerintahan dinegeri ini mulai dari presiden hingga Kepala Desa dalam periodisasi selama waktu tertentu.
Seperti halnya Presiden, Gubernur atau Bupati/Walikota, masa jabatan Kepala Desa juga dibatasi secara periodik sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lamanya masa jabatan seorang Kepala Desa saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa.
Dalam undang-undang yang khusus mengatur tentang pemerintahan desa ini, masa jabatan Kepala Desa ditetapkan selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal tiga kali masa jabatan baik berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.
Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 ini, maka seorang Kepala Desa bisa menjabat hingga total maksimum selama  18 tahun untuk tiga kali periode masa jabatan.
Namun, akhir-akhir ini muncul wacana untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa dari yang sebelumnya 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode masa jabatan.
Wacana yang pertama kali diusulkan oleh Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jawa Timur ini sontak menjadi perbincangan hangat dimasyarakat serta menimbulkan pro dan kontra meskipun mendapat dukungan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemendesPDTT) Republik Indonesia.
Dalam beberapa kali kesempatan, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (MendesPDTT), Abdul Halim Iskandar, menyampaikan dukunganya atas usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa tersebut.
Alasan usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa ini dilatarbelakangi oleh karena tingginya suhu politik pada saat pemilihan Kepala Desa sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak yang berlebihan dikalangan masyarakat ditingkat desa, semisal terjadinya bentrok antar pendukung calon Kepala Desa pada saat pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
Gejolak politik yang terjadi saat pilkades tersebut membuat pelaksanaan pembangunan di desa menjadi kurang efektif dalam masa 6 tahun jabatan Kepala Desa.
Tidak hanya itu, dikutip dari laman berita Rakyat Merdeka.id, Halim juga melihat kondisi di lapangan yang sering terjadi, 6 tahun masa jabatan pertama cenderung hanya efektif selama 2 tahun. Sementara 4 tahun lainnya terpakai untuk urusan pemilihan Kepala Desa.
"Kalau di Jawa, saya hitung, 6 tahun itu 2 tahun pertama menyelesaikan konflik, 2 tahun persiapan pilkades jadi kerjanya cuma 2 tahun. Makanya kita ingin jangan habis untuk menyelesaikan konflik tapi untuk mengabdi. Itulah kenapa kita sedang menggulirkan agar jabatan Kepala Desa jangan 18 tahun dibagi 3 tapi 18 tahun dibagi 2," ungkapnya.
Namun, apakah menurut anda wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa di Indonesia ini relevan untuk saat ini?
Penulis sendiri dalam hal ini justru memiliki pandangan yang berlawanan dengan wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa diatas.
Menurut hemat penulis, justru masa jabatan Kepala Desa seharusnya dipangkas, dengan tetap selama 6 tahun dalam satu periode masa jabatan namun hanya untuk dua kali masa jabatan saja bagi setiap warga negara.
Dengan kata lain, seseorang hanya boleh memegang jabatan Kepala Desa selama maksimal untuk 12 tahun saja.
Penulis berpendapat demikian dengan beberapa argumentasi sebagai berikut:
1. Jika masa jabatan Kepala Desa diperpanjang menjadi 9 tahun dalam satu periode, maka hal ini akan berpotensi menghambat proses regenerasi kepemimpinan ditingkat desa. Sehingga, akan menyulitkan munculnya bibit-bibit baru pemimpin di desa yang berkualitas.
Padahal regenerasi kepemimpinan ditingkat desa mutlak diperlukan untuk memastikan roda pemerintahan ditingkat desa bisa tetap berjalan dengan baik secara kontinyu dari waktu ke waktu.
2. Semakin lama seorang Kepala Desa menjabat, maka berpotensi akan menyuburkan prilaku KKN di lingkungan Pemerintah Desa.
Sejarah kelam bangsa khususnya di era pemerintahan Orde Baru adalah contoh nyata, betapa kepemimpinan memang mutlak harus dibatasi.
Semakin lama seorang Kepala Desa menjabat, maka potensi Kepala Desa tersebut akan melakukan praktik KKN juga akan semakin besar.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, Kepala Desa akan berupaya untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi yang ada di desa, sehingga lambat laun secara ekonomi masyarakat akan bergantung pada sang Kepala Desa tersebut. Dititik inilah, praktik-praktik KKN oleh Kepala Desa akan tumbuh subur.Â
Dengan penguasaan terhadap sumber daya ekonomi yang ada di desa tersebut, maka Kepala Desa akan dengan mudah dapat menguasai pula sumber daya manusia yang ada di desa.
Yang terjadi selanjutnya adalah, Kepala Desa akan menjadi penguasa tunggal yang superior di tingkat desa.
3. Menyuburkan praktik money politics dalam Pilkades.
Tidak bisa dipungkiri, praktik money politics dalam setiap perhelatan pemilihan Kepala Desa adalah sebuah rahasia umum yang seolah tabu untuk dipublikasikan.
Praktik culas tersebut nyata terjadi, namun seolah dibiarkan begitu saja menjadi budaya politik ditingkat desa.
Praktik money politics tersebut berpotensi akan semakin tumbuh subur dan merajalela jika masa jabatan Kepala Desa kemudian jadi diperpanjang lagi sampai dengan 9 tahun.Â
Para calon Kepala Desa akan semakin berani bermain money politics karna beranggapan akan mempunyai lebih banyak waktu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam proses pencalonan Kepala Desa.
4. Usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa tidak relevan karena tidak disertai dengan data dan fakta.
Alasan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa yang menyebutkan bahwa agar tidak terlalu sering terjadi konflik ataupun dinamika benturan kepentingan yang cukup keras di desa, terutama pada saat pilkades adalah alasan yang tidak relevan menurut penulis.Â
Asosiasi Kepala Desa sebagai pihak yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dalam hal ini sama sekali tidak menjelaskan secara rinci konflik seperti apa yang mereka maksud, serta berapa persentase jumlah desa yang mengalami konflik pada saat pilkades dari jumlah total 83 ribuan desa yang ada di Indonesia.
Selain itu, Asosiasi Kepala Desa sebagai inisiator usulan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa juga hanya menjadikan desa-desa yang ada dipulau jawa sebagai rujukan, padahal menurut data BPS 70 persen desa-desa di Indonesia ada diluar pulau jawa.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, penulis berkesimpulan bahwa usul penambahan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode masa jabatan adalah sebuah usulan yang tidak relevan dan patut ditolak oleh pemerintah dan DPR dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, meskipun usulan tersebut tidak mengurangi total masa jabatan seseorang bisa menjabat sebagai Kepala Desa yakni selama 18 tahun.
Alasan bahwa suhu dan dinamika politik pada saat pilkades yang cenderung meningkat adalah suatu hal yang wajar menurut penulis, sepanjang tidak terjadi konflik yang berujung pada benturan fisik antar pendukung calon dalam pelaksanaan pilkades.
Hal tersebut justru harus dijadikan sebagai bahan pembelajaran, baik untuk pemerintah maupun untuk tokoh-tokoh masyarakat ditingkat desa agar dapat lebih bersikap dewasa dalam berpolitik.
Sebaliknya penulis berpendapat, untuk tujuan agar proses regenerasi kepemimpinan ditingkat desa dapat berjalan dengan baik, maka masa jabatan Kepala Desa cukup dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan saja bagi setiap warga negara, dengan masa jabatan untuk satu periode adalah tetap selama 6 tahun.
Dengan demikian, seseorang warga Negara Indonesia hanya akan bisa menjabat sebagai Kepala Desa maksimal selama 12 tahun.
Demikian, semoga bermanfaat!
Pematang Gadung, 2 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H