Penulis berpendapat demikian dengan beberapa argumentasi sebagai berikut:
1. Jika masa jabatan Kepala Desa diperpanjang menjadi 9 tahun dalam satu periode, maka hal ini akan berpotensi menghambat proses regenerasi kepemimpinan ditingkat desa. Sehingga, akan menyulitkan munculnya bibit-bibit baru pemimpin di desa yang berkualitas.
Padahal regenerasi kepemimpinan ditingkat desa mutlak diperlukan untuk memastikan roda pemerintahan ditingkat desa bisa tetap berjalan dengan baik secara kontinyu dari waktu ke waktu.
2. Semakin lama seorang Kepala Desa menjabat, maka berpotensi akan menyuburkan prilaku KKN di lingkungan Pemerintah Desa.
Sejarah kelam bangsa khususnya di era pemerintahan Orde Baru adalah contoh nyata, betapa kepemimpinan memang mutlak harus dibatasi.
Semakin lama seorang Kepala Desa menjabat, maka potensi Kepala Desa tersebut akan melakukan praktik KKN juga akan semakin besar.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, Kepala Desa akan berupaya untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi yang ada di desa, sehingga lambat laun secara ekonomi masyarakat akan bergantung pada sang Kepala Desa tersebut. Dititik inilah, praktik-praktik KKN oleh Kepala Desa akan tumbuh subur.Â
Dengan penguasaan terhadap sumber daya ekonomi yang ada di desa tersebut, maka Kepala Desa akan dengan mudah dapat menguasai pula sumber daya manusia yang ada di desa.
Yang terjadi selanjutnya adalah, Kepala Desa akan menjadi penguasa tunggal yang superior di tingkat desa.
3. Menyuburkan praktik money politics dalam Pilkades.