Mohon tunggu...
Sultoni
Sultoni Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat Politik dan Kebijakan Publik AMATIRAN yang Suka Bola dan Traveling

Penulis lepas yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial politik, kebijakan publik, bola dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Tradisi "Rewang" di Kampungku (Part 3 - Selesai)

20 Oktober 2022   09:57 Diperbarui: 20 Oktober 2022   10:06 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dok. Pribadi 

"Selain budaya gotong royong, ternyata terkandung banyak nilai-nilai positif lain yang bisa kita petik dari tradisi rewang yang ada dikampungku."

7. Hari keempat.

Hari keempat rewang adalah hari terakhir dari prosesi tradisi rewang yang ada dikampungku.

Biasanya dihari keempat ini seluruh peserta rewang laki-laki akan bersama-sama bergotongroyong membongkar dan mengembalikan seluruh alat-alat yang digunakan dalam acara resepsi atau hajatan. Baik itu alat yang disewa maupun alat yang dipinjam dari para tetangga.

Untuk perewang perempuan pada hari keempat ini mereka bertugas memberikan seluruh peralatan dapur atau perabot yang dipakai selama acara resepsi atau hajatan. 

Setelah itu mereka akan bersama-sama memasak bubur sumsum yang nantinya akan dibagikan kepada seluruh peserta rewang.

Makanan yang menggunakan tepung beras sebagai bahan utamanya ini seolah sudah menjadi makanan wajib yang harus dibuat setelah tradisi rewang selesai dilaksanakan.

Mitos yang beredar dimasyarakat kami, rasa capek dan lelah setelah mengikuti tradisi rewang tidak akan hilang kalau belum menyantap bubur sumsum ini.

Khusus untuk kedua mempelai pengantin, dihari keempat rewang ini biasanya akan diberikan tugas khusus untuk membersihkan halaman dan pekarangan rumah dari sisa-sisa sampah yang menumpuk pasca acara resepsi atau hajatan.

Rewang dihari keempat atau hari terakhir ini biasanya sudah selesai seluruhnya sebelum waktu shalat zuhur atau sekitar jam 12 siang.

8. Malam kelima.

Malam kelima dalam tradisi rewang dikampungku merupakan malam terakhir dalam  rangkaian acara tradisi rewang yang berlangsung selama empat hari lima malam tersebut.

Dimalam kelima ini, seluruh peserta rewang akan diundang kembali oleh tuan rumah untuk mengikuti acara pamungkas dalam tradisi rewang, yaitu pembubaran panitia.

Acara pembubaran panitia rewang secara simbolis bermakna sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban panitia kepada sohibul hajat atas penyelenggaraan acara resepsi atau hajatan.

Acara yang berlangsung selepas magrib atau selepas isya ini biasanya diawali dengan pidato dari ketua panitia mewakili seluruh kepanitiaan, yang pada intinya menyampaikan kepada sohibul hajat bahwa acara resepsi atau hajatan telah selesai dilaksanakan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang diharapkan.

Selanjutnya, atas nama seluruh kepanitiaan rewang, ketua panitia menyampaikan permohonan maafnya kepada sohibul hajat dan seluruh peserta rewang apabila terdapat kekurangan-kekurangan ataupun kealpaan selama proses hajatan atau resepsi berlangsung.

Setelah ketua panitia selesai berpidato, acara pun dilanjutkan dengan sambutan atau pidato dari sang tuan rumah.

Dalam pidatonya, biasanya sang tuan rumah akan memberikan ucapan terimakasih kepada seluruh peserta rewang yang terhimpun dalam kepanitiaan atas bantuan dan kesediaannya membantu proses acara hajatan mulai dari awal sampai dengan selesai.

Selain itu sang tuan rumah biasanya juga menjadikan momen pembubaran panitia ini untuk meminta maaf kepada seluruh peserta rewang apabila selama acara resepsi atau hajatan berlangsung, terdapat kekeliruan dan kekurangan dari sang tuan rumah kepada seluruh peserta rewang.

Acara pembubaran panitia inipun diakhiri dengan pembacaan do'a oleh salah seorang tokoh agama, proses bersalam-salaman untuk saling meminta maaf antara tuan rumah, kedua mempelai dan seluruh peserta rewang serta ditutup dengan makan bersama yang biasanya berupa hidangan "miso".

Perlu diketahui, selama proses rewang berlangsung, sebagai bentuk ucapan terimakasih tuan rumah kepada perewang, khususnya perewang laki-laki, biasanya tuan rumah akan memberikan jatah satu bungkus rokok setiap hari kepada setiap perewang laki-laki yang hadir kerumah sohibul hajat pada saat rewang.

Namun khusus untuk hari H acara resepsi atau hajatan, yang merupakan puncak dari acara rewang, jatah rokok untuk perewang laki-laki biasanya akan diberikan sebanyak dua bungkus dalam sehari, yakni satu bungkus dipagi hari dan satu bungkus sisanya diberikan pada siang hari.

Dalam hal pembagian jatah rokok untuk perewang laki-laki ini, ketua panitia rewang bertugas sebagai koordinator pembagi jatah untuk seluruh anggota panitia atau perewang laki-laki yang hadir.

Jenis rokok yang diberikan kepada perewang pun bermacam-macam. Namun umumnya terdiri dari dua jenis rokok, yakni kretek dan filter.

Nilai-nilai positif dari tradisi rewang.

Jika kita cermati, tradisi rewang yang sampai saat ini masih tetap eksis  dan dilestarikan oleh masyarakat dikampungku ini mempunyai banyak sekali nilai-nilai positif didalamnya.

Nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi rewang ini menjadi bukti nyata bahwa tradisi dan kebiasaan dari para leluhur kita masih sangat relevan untuk kita aplikasikan dan diterapkan dalam kehidupan kita dimasa kini.

Nilai-nilai positif yang terkadung dalam tradisi rewang tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Melestarikan budaya kegotongroyongan ditengah-tengah masyarakat.
2. Memupuk rasa kebersamaan dan persaudaraan antar sesama masyarakat.
3.Menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
4.Mengajarkan kebisaaan agar saling membantu antar sesama, khususnya ketika tetangga kita sedang  memerlukan bantuan kita.
5. Menghemat biaya dalam melaksanakan kegiatan resepsi atau hajatan, karna tidak perlu menyewa event organizer atau wedding organizer.

Itulah beberapa nilai-nilai positif yang bisa kita ambil dari tradisi rewang yang ada dikampungku.

Perlu diketahui, tradisi rewang yang penulis angkat ini merupakan tradisi yang ada di tempat tinggal penulis. Yakni di Dusun Rawa Baru, Desa Pematang Gadung, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.

Bagaimana dengan ditempat tinggal anda, apakah tradisi seperti ini juga masih ada?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun