Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa Kabar Kudeta Demokrat?

3 April 2021   11:25 Diperbarui: 3 April 2021   11:34 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial beberapa pekan terakhir sempat ramai dengan isu Partai Demokrat (PD). Saat Myanmar riuh dengan isu kudeta atas pemerintah, di Tanah Air diriuhkan kudeta partai yang menyeret orang pemerintah.

Ya, nama Jenderal Moeldoko jadi sorotan. Walaupun berpolitik adalah hak pribadinya, namun karena ia adalah orang nomor satu di Kantor Staf Presiden (KSP), isu ini merembet ke mana-mana. 

Nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun ikut diseret-seret dalam polemik ini. Akhirnya, masalah dialami PD men-trigger banyak kalangan, hingga terjadilah perseteruan pendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan pendukung Jokowi. 

Padahal, jika ingin melokalisasi isu, ini hanya isu antara PD sendiri dan Moeldoko dengan pendukungnya. 

Namun akhirnya merembet ke mana-mana, jadilah isu ini jadi terasa tidak fair lagi. 

Kalau mau mengatakan bumerang, ya, ini bumerang dari keputusan Pak Moeldoko saat "mengangguk" ketika satu kelompok yang berseberangan dengan SBY di internal PD membangun kekuatan baru.

Bahkan, Pak Moeldoko sendiri jadi "tercoreng" gara-gara keputusannya mengangguk tadi. 

Kenapa? Sebab akhirnya ia sendiri menjadi sasaran narasi bahwa dirinya sebagai jenderal begal, karena dinilai telah "membegal" sebuah partai di mana ia sendiri bukan "orang dalam" partai tersebut. 

Di sisi lain, ia juga jadi sasaran vonis sebagai jenderal yang tidak tahu balas budi, karena alasan masa lalu bahwa sosok SBY digadang-gadang berperan penting membesarkan namanya, dan juga kariernya.

Sepintas dapat dimaklumi kenapa itu terjadi. Selain karena keputusan Pak Moeldoko tadi, juga karena ia membiarkan dirinya terbawa ke dalam gonjang-ganjing klasik di dalam internal PD sendiri.

Sial dari media sosial

Silakan cermati media sosial. Sebab di sana selalu ada sudut pandang dari mereka yang beruntung hingga yang sial. 

Nama Moeldoko menjadi layaknya bola yang memantul di antara kedua kutub perbincangan media sosial.

Satu sisi menguntungkan, karena nama Moeldoko menjadi lebih dikenal publik. Untung buat dirinya, dan bisa menjadi bekal tersendiri buatnya jika kelak memang ingin berkiprah ke dunia politik. Walaupun untuk ini, ia masih membutuhkan lebih banyak strategi agar dirinya tidak terlihat seperti "penjahat" di kalangan politik dan juga rakyat. 

Juga ini menguntungkan buat PD, karena dari sini mereka punya titik bidik yang potensial menjadi senjata mereka menghadapi lawan-lawan politik. 

Belum lagi karena fakta bahwa Moeldoko cenderung dianggap orang dekatnya Jokowi. Ini pun bisa menjadi senjata buat PD. Senjata yang memang bisa diarahkan ke mana saja, ke musuh dalam selimut mereka sendiri, atau ke arah lawan-lawannya sendiri.

Persoalannya tinggal bagaimana PD memetakan lawan-lawannya. Sebab, dari sana nantinya akan lebih terlihat, mana musuh yang benar-benar paling membahayakan mereka. 

Apakah benar Pak Moeldoko adalah orang yang benar-benar membahayakan mereka? Atau, bahaya terbesar justru sebenarnya berada di dalam mereka sendiri?

Sebab, jika merunut ke belakang, mencuatnya nama Moeldoko hingga memantik api besar belakangan ini, justru karena andil besar dari orang-orang yang pernah menjadi andalan SBY dan PD sendiri. 

Tanpa campur tangan orang-orang yang punya peran penting di kalangan dekatnya SBY, Moeldoko bisa dipastikan tak punya celah untuk ke sana.

Kondisi yang belakangan terlihat sebagai ancaman terhadap PD, tidak akan terjadi tanpa andil "orang penting"-nya SBY. 

Jadi, di media sosial, sejatinya PD pun bisa berkaca dari perbincangan publik. Bahwa Moeldoko tak lantas benar-benar untung, sepanjang sikap dari Demokrat dan orang-orang dekat tak ikut membuat nama Moeldoko kian melambung. 

Evaluasi

Partai politik (parpol) memang bisa menentukan nasib negara. Namun masalah parpol tentu saja tidak bisa disamakan dengan masalah negara. Walaupun akhirnya, tentu saja, keputusan dari petinggi negara turut menentukan nasib parpol dan kondusivitas negara.

Di sini, sudah jamak juga diketahui publik bahwa negara akhirnya lewat Kementerian Hukum dan HAM, telah menolak pengurus PD hasil Kongres Luar Biasa (KLB) yang berlangsung di Deli Serdang. 

Ringkasnya, pengurus PD sebelumnya kembali mendapatkan kekuatannya, karena terbukti akhirnya negara tidak merecoki mereka. Justru lewat kekuatan hukum, negara akhirnya ikut membereskan masalah yang sempat terlihat menyeramkan bagi pendukung SBY dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

Sekarang kembali ke PD dan SBY, terutama, bagaimana memastikan di dalam tubuh partai sudah benar-benar terkonsolidasi, dan benih-benih perpecahan bisa termitigasi dengan baik.

Sebab, ibarat tubuh, serangan dari luar, jika ada, tetap akan lebih gampang diproteksi, dicegah, atau bahkan dihindari.

Namun akan sangat sulit jika yang terjadi adalah adanya virus atau bakteri jahat sudah ada di dalam. Ini akan sangat menyulitkan buat diberangus, terlebih jika gagal terdiagnosis dengan tepat dan cermat. 

Kondisi tubuh bisa semakin kurus, kemampuan bertahan akan semakin berat, hingga terkapar begitu saja dan hanya tinggal nama. 

Atau, jika diibaratkan perang, peluru-peluru dari jarak jauh, apalagi sangat jauh, takkan terlalu membahayakan dibandingkan peluru yang diarahkan dari belakang dalam jarak dekat.* 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun