Sandiaga Uno (Sandi) terkenal sebagai pengusaha. Dalam dunia usaha, kebohongan bisa menjadi penyakit mematikan. Kebohongan bisa membunuh usaha lawan, tapi kebohongan juga bisa membunuh diri sendiri.
Ini pastilah sangat dipahami oleh figur sekelas Sandi. Jam terbang di dunia usaha, dan reputasi sebagai pengusaha, pastilah sudah menunjukkan kepadanya efek-efek dari kebohongan yang bisa berdampak terhadap sebuah perusahaan.Â
Apalagi, ia sendiri juga dikenal sebagai figur yang pernah menangani perusahaan tidak sehat, lalu memoles dan menjualnya lagi. Rekam jejaknya pastilah mengajarkan banyak hal kepadanya. Salah satunya bagaimana penyebab sebuah perusahaan kolaps, ambruk, dan hancur.Â
Kebohongan yang acap berdekatan dengan kebiasaan buruk lainnya seperti kebiasaan korup bisa dengan mudah membunuh sebuah perusahaan. Mirip juga halnya negara, ketika di mana-mana sudah melazimkan kebohongan, maka negara pun bisa ambruk.
Bukti yang cukup nyata adalah bagaimana ambruknya Orde Baru hampir saja membuat Indonesia ikut ambruk. Banyak catatan sejarah yang menunjukkan bagaimana kebohongan pun turut berdampak terhadap kehancuran orde tersebut.
Sebab 32 tahun menguasai Indonesia, sebagai fakta yang semestinya menjadikan orde tersebut sebagai sebuah kekuatan luar biasa, justru ambruk dan tersingkir hanya dengan kekuatan mahasiswa yang acap disebut sebagai "anak kemarin sore."
Ada pertalian mirip antara perusahaan, kekuasaan, dan negara itu sendiri. Mirip halnya pertalian Sandi sebagai seorang figur berlatar belakang pengusaha, dekat dengan lingkaran kekuasaan, pernah berkuasa di tingkat provinsi (DKI Jakarta) meskipun sebentar, dan kini kembali bertarung untuk mendapatkan kekuasaan lebih tinggi: sebagai cawapres pada kontestasi Pilpres 2019.Â
Menariknya dengan latar belakangnya dan perjalanannya kini yang sedang mengincar posisi tinggi Indonesia, ada kebiasaan yang belakangan justru rajin dipamerkannya. Sesuatu yang memang kontras dengan rekam jejaknya: menggemari kebohongan sebagai senjata.
Ini bukan lagi sekadar cerita tentang tempe yang diaku-aku olehnya saat ini malah setipis ATM. Namun ia juga sempat melakukan kebohongan yang jauh lebih menghebohkan ketika ia mengklaim membangun Tol Cipali tanpa utang.Â
Setelah melemparkan klaim yang kemudian terbukti mengada-ada, lantas ia lagi-lagi mencuci tangan. Dalihnya, yang dimaksudkan bukan tanpa utang, tapi tidak membebani utang negara.
Itu sekadar contoh dari seabrek bukti kebohongan demi kebohongan yang gencar diembuskannya bersama pasangannya, Prabowo Subianto. Ada kesan, kebohongan itu tidak menjadi persoalan karena melihat di negeri ini terdapat banyak rakyat yang mudah memaafkan dan melupakan. Alhasil, pasangan ini pun menunjukkan tren adanya kebohongan yang diproduksi dari bulan ke bulan.
Sandi yang sebenarnya akrab dengan dunia bisnis dan paham sekali risiko-risiko dari sebuah kebohongan memilih menjadikan langkah ini sebagai tren, dan tampak dipercaya sebagai langkah politik yang mampu membawa dampak baik.Â
Di sinilah ada sisi absurd yang terlihat sengaja dilakukan. Terlepas hal itu sejatinya sangat tidak baik untuk publik, tidak edukatif, dan hanya mengotori pesta demokrasi yang semestinya menjadi pesta rakyat: untuk rakyat bergembira dan bisa melihat masa depan dengan gembira.
Sayangnya, Sandi yang kini berduet dengan Prabowo dalam berburu kekuasaan justru gemar melakukan hal-hal yang membuat publik bingung, pesimis, gelisah, hingga ketakutan. Ini jelas adalah hawa-hawa negatif yang dapat saja memicu banyak kemungkinan negatif.
Bayangkan jika seorang pimpinan perusahaan hanya merecoki bawahan dengan hal-hal negatif, apakah ini bisa menghasilkan sesuatu yang positif? Apa yang terjadi justru menurunkan semangat, gairah, keinginan melakukan sesuatu yang lebih baik.Â
Kebohongan jelas negatif. Namun Sandi memilih sepakat dengan Prabowo sebagai pasangannya, untuk tidak terlalu memusingkan dampak dari narasi kebohongan yang gencar mereka lemparkan kepada publik.Â
Ia tidak peduli bahwa narasi buruk dimainkan akan semakin menyusahkan rakyat. Terlepas niatnya adalah untuk menghantam petahana sebagai lawan politik, mestinya ia cukup memahami siapa saja yang akan terpapar oleh dampak kebohongan dimainkannya.
Kebohongan itu memang mudah terbaca ditujukan untuk menghancurkan citra petahana. Kebohongan itu untuk menghancurkan nama baik lawannya karena dengan nama baik lawan itu bisa membuatnya kesulitan menuju istana. Â Kebohongan itu untuk mematahkan langkah lawan untuk merangsek lebih jauh dalam merebut pengaruh. Namun jauh sebelum Pilpres sudah kian terbukti jika kebohongan itu pelan-pelan hanya menghancurkan mereka sendiri.
Bisa dilihat dari bagaimana semangatnya Prabowo sendiri sebagai pasangan Sandi dalam menyebarkan hoaks seputar Ratna Sarumpaet. Ia bahkan memilih menafikan verifikasi lebih dulu dari aparat berwenang, dan langsung memanggil wartawan. Ia bikin jumpa pers. Wartawan pun disulap olehnya menjadi agen-agen penyebar kebohongan.
Apakah mental dan kebiasaan seperti ini bisa menjamin rakyat akan lebih sejahtera, lebih baik, dan lebih maju? Jika melihat sekeliling, yang gemar menipu akhirnya memang hanya menghancurkan diri sendiri. Buktinya, dari kasus Ratna Sarumpaet tempo hari, terlihat diniatkan untuk menghantam lawan, namun justru menghantam muka mereka sendiri.
Mengilas lagi fenomena Ratna Sarumpaet, pasangan Prabowo-Sandi, akhirnya lebih banyak membuang tenaga untuk memberikan klarifikasi demi klarifikasi. Mereka berusaha melakukan "amputasi" dengan cara mendepak Ratna dari lingkaran mereka, dan berharap langkah ini bisa menyelamatkan wajah mereka. Apakah langkah ini seketika membuat nama mereka menjadi lebih baik?
Tidak. Publik kian melihat pasangan Prabowo-Sandi sebagai pasangan yang identik dengan hoaks. Mereka kian melekat dengan citra gemar melemparkan kebohongan kepada publik. Berbulan-bulan sejak kasus Ratna Sarumpaet menyeruak, bahkan belum kunjung membuat publik lupa bahwa kebohongan ini lahir dan membesar justru karena dibesarkan pasangan Prabowo-Sandi.
Dengan contoh itu, Sandi yang notabene memiliki masa depan dan peluang lebih panjang dibandingkan Prabowo di masa depan--jika melihat dari usia--apakah akan tetap memilih menghancurkan namanya dengan kebohongan secara terus menerus bersama pasangannya ini? Itu urusannya. Urusan kita sesama rakyat yang akan menjadi pemilih pada 17 April mendatang, jangan sampai ikut menghancurkan sesama rakyat dengan membenarkan kebohongan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H