Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jurus "Junk Food" sang Capres

4 Desember 2018   19:56 Diperbarui: 4 Desember 2018   20:07 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun politik semestinya menjadi tahun pendidikan politik. Setidaknya, rakyat bisa diajak untuk melihat dengan jernih, membaca dengan jelas, dan ketika mereka harus memilih, maka mereka menjatuhkan pilihan dengan kejernihan dan kejelasan.

Sayangnya, harapan itu bisa terasa terlalu muluk. Ya, lagi-lagi kalau melihat bagaimana kencangnya sementara kalangan merecoki pikiran publik dengan banyak hal yang sejatinya sangat menggelitik. 

Bagaimana tidak menggelitik, ketika beberapa tokoh politik tampil untuk mengenalkan dirinya, ia lebih banyak membicarakan sesuatu yang jauh dari fakta, dan terkesan tidak memusingkan data. Masyarakat diposisikan sebagai kalangan yang naif, tidak membutuhkan fakta atau data. Terpenting heboh, terpenting viral, dan terpenting bisa menjadi buah bibir.

Kalau mengacu ke ilmu strategi, bisa jadi hal-hal seperti itu dipandang lumrah saja. Sebab dalam membangun brand berbagai cara bisa saja dilakukan, asalkan brand tersebut semakin dikenal, semakin akrab dengan banyak orang, dan perlahan diyakini bahwa itu menjadi bagian dari keseharian mereka.

Soal apakah "isi" dari brand tersebut benar-benar baik atau tidak sama sekali bukan persoalan. Sebab yang dituju adalah membuat brand tadi menjadi akrab dengan siapa saja. Junk food bisa menjadi contoh terdekat, bagaimana ketika orang-orang lapar, mereka bisa dengan ringan melangkahkan kaki ke gerai-gerai yang menyajikan makanan cepat saji tadi tanpa menggubris lagi apakah makanan ini baik atau tidak untuk dirinya.

Apakah orang-orang mau merepotkan diri untuk melihat apakah di sana ada kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi tubuhnya atau tidak, bukan persoalan. Terpenting hasrat memenuhi panggilan cacing di perut terpenuhi, dan gengsi bisa makan di gerai yang terkenal terjawab, dianggap sudah cukup. Perkara selesai di sana. 

Terlihat, inilah yang menjadi salah satu jurus yang menjadi andalan dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang gemar melempar data asal-asalan. Mereka bisa berbicara tentang kemiskinan dengan data dari sumber suka-suka, melempar kritik soal harga tanpa peduli benar atau tidak data diutarakan. 

Tak perlulah saya sebut nama. Toh, mereka sudah terkenal dengan jurus ampuh untuk melepaskan beban perasaan bersalah dengan meminta maaf setelah berkali-kali sengaja melecehkan publik hingga menipu publik terang-terangan: dari melecehkan pekerja ojek online hingga meremehkan masyarakat dari satu daerah. 

Mereka juga bisa melangkahi kuburan sesepuh organisasi berlatar belakang agama tanpa menghiraukan pantas atau tidak.

Sebab semua sudah ada jurus yang sudah disiapkan, yakni minta maaf. 

Lagi-lagi, dengan permintaan maaf maka masalah dianggap selesai. Apakah semua yang dilakukan itu mendidik publik? Mungkin saja, setidaknya mengajarkan publik untuk mau meminta maaf jika melakukan kesalahan. 

Masalahnya, bagaimana jika pesan dari skenario dimainkan itu adalah menganggap biasa sebuah kesalahan, terlebih kesalahan yang berbau tipuan terang-terangan, apakah itu akan bermanfaat untuk publik? Tentu saja tidak.

Sebab jika kemungkinan terakhir terjadi, justru berakibat pada makin permanennya budaya buruk yang sempat lahir dan mengakar kuat di negeri ini, yakni budaya korupsi dan menjadikan kekuasaan untuk menggerogoti negara,

Bahkan Indonesia sempat hampir tumbang karena kesalahan berupa pembiaran kerakusan menguasai penguasa. Apakah budaya pembiaran kesalahan yang disengaja itu mau dibiarkan terus berlanjut, dan mereka yang memperjuangkan agar kesalahan-kesalahan ini semakin merajalela dibiarkan berkuasa? 

Mungkin semua akan mengatakan, "Tidak!" Orang waras mana yang mau membiarkan dirinya, keluarganya, dan negaranya rusak oleh kesalahan-kesalahan seperti itu. 

Namun ketika mereka direcoki dengan banyak hal beraroma surga, berbungkus pakaian agama, memoles wajah selayaknya nabi seraya menyimpan seringai, mencegah orang-orang biasa untuk berpikir kritis: jalan tol untuk zombie-zombie  pemakan sesama manusia itu benar-benar akan berkuasa pun terbuka, sementara yang memilih mereka pun bisa dibuat tidak berdaya.

Apakah berlebihan jika dikatakan itu sebagai kejahatan? Mungkin, tetapi lebih berlebihan lagi jika kejahatan dibiarkan mendapatkan tempat untuk dilakukan lebih leluasa, karena memandang itu hanyalah sebuah perkara biasa. 

"Toh, ini hanya sekadar strategi politik."

"Lha, ini kan cuma sebuah cara saja untuk mencapai tujuan."

"Kan tidak masalah kalau cuma kebohongan kecil sekadar menarik perhatian orang saja ..."

Belum berkuasa sudah memamerkan pembenaran pada pembohongan. Belum menguasai tahta sudah memberikan rakyat dengan hal-hal yang buruk berupa kebohongan. Belum menguasai negara sudah mengelabui banyak orang. Sulit dipercaya bahwa kelak orang-orang bermental begini takkan menjadikan kebohongan sebagai senjata untuk mengelabui publik hingga menghancurkan apa saja dan siapa saja. Negara hancur pun bukan mustahil terjadi.

Berbeda dengan pihak lain yang melihat kekuasaan bukanlah sebagai pemuas ambisi pribadi. Ia akan memilih menunjukkan sikap yang membuat orang-orang di sekitarnya tergerak untuk menjadi lebih baik, berpikir lebih baik, dan membiasakan bertindak dengan cara lebih baik. Ia menunjukkan itu tidak dengan kelihaian memoles kata-kata, namun dengan apa yang dikerjakannya. 

Pemimpin seperti ini akan lebih memilih mengarahkan pikirannya pada apa yang bisa ia lakukan. Ia mencurahkan perhatian pada bagaimana orang-orang yang menjadi "tuan" baginya sebagai pelayan masyarakat dihargai selayaknya tuan, dan memberikan kepada mereka apa saja yang terbaik. 

Terlepas pelayan ini tak dihargai karena kelelahannya, karena keringatnya, dan acap dicaci maki dengan kata-kata yang mengundang luka tak berperi, namun ia masih bisa menunjukkan wajah berseri-seri. Ia bisa meyakinkan bahwa ia melayani bukan untuk menguasai dan mengeruk harta "sang majikan" bernama rakyat, tapi bagaimana ia mengabdikan diri sebaik-baiknya.

Nah, Anda sendiri melihat nilai dan mental pelayan masyarakat itu dari siapa? Jangan sampai Anda terjebak memilih pemimpin bermental majikan yang hanya mengetahui apa saja yang membuatnya senang, namun tak peduli sama sekali apakah ia sudah memberikan yang terbaik untuk pelayannya. 

Perlu kejernihan untuk melihat, mana pemimpin bermental majikan dan mana pemimpin yang memang sudah menunjukkan dirinya mampu menjadi pelayan bagi 200 juta jiwa di rumah besar bernama Indonesia. Tanpa kejernihan itu, hanya akan membuat Anda justru menjadi rakyat yang berperan sebagai pelayan saja. Sebab sudah memilih seseorang untuk menjadi majikan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun