Bahkan, ada catatan tragis para penjarah di lokasi bencana tersebut, bahkan ada yang mengambil perhiasan di tubuh korban.Â
Seperti laporan salah satu media, Majalah AcehKita, yang masih terbit ketika itu, ada pelaku yang bahkan memotong jari korban yang tergeletak di pinggir jalan hanya agar bisa mengambil perhiasan di jari sang korban.Â
Pasalnya, setelah beberapa hari, biasanya mayat korban sudah mengembang dengan ukuran tubuh dan anggota tubuh bisa dua atau tiga kali lipat dari ukuran normalnya.
Jika melihat ada perhiasan di tubuh korban, para pelaku penjarahan itu akan melakukan segala cara agar perhiasan tersebut dapat mereka ambil.Â
Begitu juga dengan penjarah yang menyasar perumahan, yang biasanya sudah ditinggalkan pemilik, atau pemiliknya seluruhnya terbawa hanyut oleh tsunami, mereka akan menyatroni dan mengambil apa saja yang bisa diambil.
Namun kejadian itu pun tidak berlangsung lama. Pasalnya, setelah beberapa hari, kondisi chaos sudah mulai teratasi, aksi-aksi penjarahan itu semakin berkurang, walaupun masih ada saja satu-dua  kejadian.Â
Setelah seminggu atau lebih, pemilik rumah pun biasanya sudah kembali meski sekadar untuk membersihkan rumah mereka, atau menyelamatkan apa-apa yang masih mungkin diselamatkan.
Jadi, apa yang menjadi dari tulisan ringan ini adalah sebaiknya sudahilah menuding yang tidak-tidak kepada korban bencana. Apalagi sampai ada yang menghakimi mereka bermacam-macam.
Ngenes tiap membaca komentar-komentar di media sosial, ada yang bahkan mengeluarkan kalimat, "Kelewatan, sudah dikasih bencana, masih aja menjarah, dlsb." Tudingan-tudingan begini biasanya hanya karena tergerak oleh emosi, tanpa tergerak untuk menalar ulang.
Apakah mungkin korban bencana yang kalut dengan keresahan mereka melakukan tindakan begitu? Tidak.Â
Para korban, sekali lagi, lebih sibuk memikirkan bagaimana kelanjutan hidup mereka di keesokan hari, bagaimana bisa menemukan keluarga yang terpisah, dan sebagainya. Mental dan pikiran mereka dalam kondisi terbeban teramat berat.Â