Para korban bencana di Palu dan Donggala melakukan penjarahan. Warganet antusias membagikan video itu, berlanjut dengan cercaan hingga penghinaan terhadap korban. Inilah potret miris di media sosial yang terjadi, mengikuti berbagai pemberitaan seputar bencana di Sulawesi Tengah tersebut.
Itu juga yang menggelitik saya hingga menjelang subuh berinisiatif membuat "kultwit" berupa thread untuk mengajak melihat ulang pemandangan itu. Sebab, pemandangan itu melemparkan saya pada pengamatan saat gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh, hampir 14 tahun lalu (2004).
Ya, saat gempa dan tsunami menerjang Aceh (Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe, hingga Pidie), potret-potret mirip memang sempat terjadi. Terutama di dua kota paling parah terkena dampak bencana itu seperti Banda Aceh dan Meulaboh.
Saat itu tidak sedikit memang terlihat bagaimana para pelaku penjarahan memanfaatkan kondisi chaos untuk menangguk untung. Ada beberapa temuan bagaimana sebagian warga dari luar lokasi bencana, datang ke lokasi hanya untuk mencari emas, uang, sepeda motor, hingga berbagai barang dan makanan.Â
Patut digarisbawahi adalah bahwa para pelaku tersebut dapat dipastikan bukanlah korban bencana. Sebab para korban, biasanya justru larut dengan kebingungan, kesusahan, dan hanya memikirkan bagaimana keluarga yang terpisah, atau anak dan istri yang hilang.Â
Bahwa mereka sempat kelaparan, benar, namun mereka lebih memilih mengambil minuman kemasan yang kebetulan dihanyutkan air, atau makanan bantuan dari perkampungan terdekat--sebelum bantuan dari luar berdatangan.
Para korban bisa dipastikan takkan terpikir untuk menjarah atau melakukan berbagai hal yang tidak pantas.
Kalaupun sempat ada kejadian berebutan makanan, hanya terjadi lantaran mereka sudah di titik tidak tertahankan karena berhari-hari hanya menelan makanan seadanya.Â
Itu juga tidak sampai mengambil secara berlebihan. Kalaupun berjumlah lebih dari seharusnya, biasanya akan mereka bagi-bagi lagi dengan teman-teman satu tenda di pengungsian.
Berbeda halnya dengan pelaku penjarahan, hampir dapat dipastikan berasal dari lokasi yang terkena dampak bencana. Saat banyak yang datang untuk membantu korban bencana, mereka juga datang namun dengan niat berbeda; untuk mencari emas hingga uang dan perabotan untuk dibawa dan diklaim sebagai milik mereka.
Bahkan, ada catatan tragis para penjarah di lokasi bencana tersebut, bahkan ada yang mengambil perhiasan di tubuh korban.Â
Seperti laporan salah satu media, Majalah AcehKita, yang masih terbit ketika itu, ada pelaku yang bahkan memotong jari korban yang tergeletak di pinggir jalan hanya agar bisa mengambil perhiasan di jari sang korban.Â
Pasalnya, setelah beberapa hari, biasanya mayat korban sudah mengembang dengan ukuran tubuh dan anggota tubuh bisa dua atau tiga kali lipat dari ukuran normalnya.
Jika melihat ada perhiasan di tubuh korban, para pelaku penjarahan itu akan melakukan segala cara agar perhiasan tersebut dapat mereka ambil.Â
Begitu juga dengan penjarah yang menyasar perumahan, yang biasanya sudah ditinggalkan pemilik, atau pemiliknya seluruhnya terbawa hanyut oleh tsunami, mereka akan menyatroni dan mengambil apa saja yang bisa diambil.
Namun kejadian itu pun tidak berlangsung lama. Pasalnya, setelah beberapa hari, kondisi chaos sudah mulai teratasi, aksi-aksi penjarahan itu semakin berkurang, walaupun masih ada saja satu-dua  kejadian.Â
Setelah seminggu atau lebih, pemilik rumah pun biasanya sudah kembali meski sekadar untuk membersihkan rumah mereka, atau menyelamatkan apa-apa yang masih mungkin diselamatkan.
Jadi, apa yang menjadi dari tulisan ringan ini adalah sebaiknya sudahilah menuding yang tidak-tidak kepada korban bencana. Apalagi sampai ada yang menghakimi mereka bermacam-macam.
Ngenes tiap membaca komentar-komentar di media sosial, ada yang bahkan mengeluarkan kalimat, "Kelewatan, sudah dikasih bencana, masih aja menjarah, dlsb." Tudingan-tudingan begini biasanya hanya karena tergerak oleh emosi, tanpa tergerak untuk menalar ulang.
Apakah mungkin korban bencana yang kalut dengan keresahan mereka melakukan tindakan begitu? Tidak.Â
Para korban, sekali lagi, lebih sibuk memikirkan bagaimana kelanjutan hidup mereka di keesokan hari, bagaimana bisa menemukan keluarga yang terpisah, dan sebagainya. Mental dan pikiran mereka dalam kondisi terbeban teramat berat.Â
Ada luka batin yang tak bisa mereka ungkapkan, walaupun mereka sudah berusaha untuk tetap kuat. Jadi, jangan tambah luka mereka dengan tuduhan dan penghakiman yang bukan-bukan.
Bencana seperti terjadi di Aceh, Lombok, Palu, dan Donggala masih mungkin terjadi di mana saja. Jadi, sebaiknya berempatilah, dan lihat para korban dengan mata hati, jangan tergesa-gesa untuk menghakimi kondisi yang kita sendiri tidak pahami.
Begitu juga dengan media massa, akan lebih elok ketika ada kasus-kasus seperti itu bisa betul-betul melihat lagi dampak dari pemberitaan terhadap para korban.Â
Jangan sampai gara-gara pemberitaan, mereka yang selamat dari kematian akibat bencana, justru dibunuh dengan penghakiman yang sengaja atau tak sengaja dilakukan oleh media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H