Pernah di satu ketika, ulama yang pernah punya peranan di awal berdirinya Indonesia dicap gagal. Alasannya, hanya karena dianggap terlalu lunak, sehingga Islam tidak menjadi dasar negara dan sumber hukum. Narasi begitu dimainkan hingga melahirkan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan belakangan turut andil nyaris mengokohkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Itu juga menjadi cerita dari seorang veteran yang pernah turut bertempur dengan DI/TII. "Alasan mereka untuk berperang berdalih pada perintah agama. Sedangkan kami di tentara hampir-hampir dibuat tidak tega, karena harus berhadapan dengan orang-orang satu agama. Tapi kami juga melihat, negara ini lahir pun tidak lepas dari andil ulama, sehingga kami yakin dengan tugas yang harus kami jalankan--menumpas DI/TII, juga punya alasan agama," cerita veteran tersebut.
Dalih-dalih untuk menentang negara dengan menyeret-nyeret nama agama akhirnya memang tidak berhenti dengan berhasil ditumpasnya DI/TII. Belakangan dalih-dalih begitu masih terus diangkat, dipoles dengan berbagai cara, walaupun lagi-lagi hanyalah membenturkan agama dengan negara.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa organisasi Islam, belakangan memang terlihat semakin berani menempatkan negara di posisi sebagai lawan karena dianggap tidak menjadikan "perintah Tuhan" sebagai pegangan utama dalam bernegara. Keberanian itu juga membuat pemerintah pun harus memilih langkah berani, dan memilih menutup pintu untuk organisasi tersebut sebelum mereka lebih jauh masuk ke ruang-ruang lebih dalam di sebuah rumah bernama Indonesia.
Organisasi itu dapat dikatakan berani karena memang mereka tidak lagi sungkan-sungkan menunjukkan keinginan mereka untuk "menawarkan"--bahasa halus mereka untuk mengganti--Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sesuatu yang memang sakral (Alquran dan Hadits).
Keberanian tersebut memang tidak lepas dari fakta bahwa ketika seorang pemeluk agama berhadapan dengan sesuatu yang dipandang sebagai bagian keimanan, di sana muncul konflik batin, hingga melupakan hal-hal yang dianggap sekadar urusan duniawi. "Ada akhirat yang jauh lebih penting". Logika itu dibangun, dan dibagilah lewat majelis ke majelis.Â
Alhasil, banyak orang terseret untuk meyakini, bahwa negara bukan segalanya karena agamalah yang akhirnya menyelamatkan mereka di realitas dunia lain bernama akhirat--yang notabene, dalam Islam, bagian dari Rukun Iman.
Sedikitnya, HTI juga bermain di ranah doktrin tersebut, sehingga pikiran-pikiran yang mereka tularkan terbilang berhasil. Dari mana mengukur keberhasilan mereka? Apakah dari jumlah pengikut? Tidak akan tercium karena organisasi tersebut diketahui tidak pernah membeberkan secara terbuka berapa pengikut mereka, karena mereka mengklaim tidak memberikan kartu anggota atau identitas tertentu.
Namun ada penelitian yang dilakukan Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada 2017 lalu, yang menunjukkan bagaimana pengaruh organisasi sekelas HTI terhadap kader partai politik.Â
PKS yang notabene salah satu partai terbesar yang memiliki 40 kursi dan mencatat 8,4 juta suara pada pemilihan legislatif tahun 2014 lalu, terindikasi punya kedekatan kuat dengan HTI. Pasalnya dalam penelitian dirilis SMRC 34,3% simpatisan partai yang disebut-sebut punya afiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin ini mengaku mendukung HTI.
Lebih berbahaya lagi, karena HTI memiliki kemampuan untuk merangsek hingga ke lini-lini penting pemerintahan--meskipun hal ini ada kemiripan juga dengan modus PKS. Di samping, mereka cukup mampu mem-branding diri sebagai organisasi yang ada hanya untuk membela dan memperjuanngkan agama. Ini tentu saja menjadi branding yang cukup potensial menarik perhatian dan minat pemeluk agama yang mementingkan sampul daripada "isi buku".
Hal-hal itu menjadi bahaya karena jika menilik berbagai pemberitaan, tak sedikit yang tercatat akhirnya bergabung ke organisasi sekelas ISIS setelah lebih dulu mendapatkan pembekalan di HTI--terlepas organisasi ini belum pasti punya hubungan langsung dengan ISIS. Jika melihat apa alasan mereka dari HTI mau bergabung dengan ISIS, karena adanya keinginan besar untuk merasakan langsung bagaimana jihad dan membela agama yang lebih greget.Â
Jika melihat dari itu, cukup dapat dilihat bagaimana keberadaan organisasi seperti HTI ini punya potensi membawa daya ledak besar. Mungkin bisa diibaratkan bahwa mereka mungkin hanya sekadar petasan yang awalnya tidak dimaksudkan untuk menghancurkan. Namun jika sejumlah petasan menyatu dan sama-sama meledak, maka bahaya yang dapat ditimbulkan bisa sangat mematikan atau benar-benar membawa bahaya kehancuran.
Ini juga yang sempat disinggung oleh Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict bahwa satu sisi ada kesan bahwa HTI punya kelebihan karena mereka mampu menciptakan kesan bahwa mereka mampu menghormati hukum di negara mereka berada.Â
Di antara "permainan" berbahaya yang dilakukan oleh HTI adalah merekrut orang-orang yang penting yang ada di satu negara di mana mereka berada, entah figur-figur penting yang duduk di pemerintahan atau bahkan di keamanan.
Jika jangkauan mereka sudah menuju ke sana, bukankah ancaman yang pernah ditebar oleh organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), dapat saja terulang lagi, bukan?
Jika merujuk berbagai catatan sejarah tentang PKI, terutama yang paling anyar yakni Gerakan 30 September atau G30S/PKI, adalah keberhasilan organisasi tersebut untuk merangsek hingga ke jantung kekuasaan dan militer. Skenario dimainkan sejatinya tak jauh berbeda juga dengan PKI, terlepas dari sisi kekuatan hukum dan legalitas, PKS terlihat jauh lebih apple to apple dengan PKI.
Sebab, PKS pun jika ditilik-tilik tidaklah sepenuh hati menerima Pancasila dan UUD 1945, lantaran merujuk ke media-media terafiliasi ke mereka seperti Majalah Saksi atau Sabili, masih ada cita-cita terpendam agar Indonesia dapat berwajah berbeda dengan dasar negara berbeda.
Sial bagi HTI karena mereka tidak sejeli PKS dalam menjalankan misi, dan tidak seluwes partai yang lahir dari gerakan Tarbiyah tersebut. Maka itu, saat PKS bisa bekerja dan bergerak langsung dari dalam sistem, HTI hanya dapat berteriak di luar sistem hingga terjungkal tanpa dapat berpegang pada apa yang bisa menyelamatkan mereka--jika diibaratkan seperti orang tenggelam.
PKS di masa sekarang dan PKI di masa lalu dapat dikatakan memiliki kesamaan sebagai partai yang diakui, dan bisa bersaing dengan partai-partai resmi lainnya. Itu menjadi keberuntungan mereka. Selain itu, mereka sama-sama pernah mencatat pengaruh yang luas--walaupun di sini PKI telah diberangus sejak lama. Mereka menjaring kalangan awam hingga mengorganisasikan mereka sampai menjadi kekuatan yang diperhitungkan untuk misi mereka masing-masing. HTI belum dapat bergerak sejauh itu.
Namun apakah PKS akhirnya dapat menjadi jembatan untuk HTI tetap dapat melanjutkan misinya? Ini tergantung lagi pada bagaimana intelijen melihat arah perjalanan organisasi politik tersebut, militer dapat meraba ke mana langkah mereka, atau tidak. Selain, bagaimana mereka dapat menyaru sebaik mungkin, sebab jika tidak tentunya mereka kelak bisa saja bernasib sama dengan DI/TII yang juga punya mimpi yang kurang lebih sama saja, namun gagal dan ditumpas seperti halnya PKI.
Ringkasnya, secara cita-cita HTI masih ada kemiripan dengan PKS, terlepas dalam beberapa hal masih ada titik-titik yang membedakan mereka. Bahwa agama menjadi landasan bergerak, sekaligus "dagangan" yang mesti dipastikan laris. Dengan begitu, mereka kelak dapat menjadikan negeri ini sebagai laboratorium untuk mereka coba-coba mengubah negara menjadi "negara Tuhan", tanpa perlu merasa berdosa, karena Tuhan menjadi beking.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H