Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

HTI Belum Seberuntung PKS dan PKI

1 Oktober 2018   23:27 Diperbarui: 1 Oktober 2018   23:50 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah di satu ketika, ulama yang pernah punya peranan di awal berdirinya Indonesia dicap gagal. Alasannya, hanya karena dianggap terlalu lunak, sehingga Islam tidak menjadi dasar negara dan sumber hukum. Narasi begitu dimainkan hingga melahirkan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan belakangan turut andil nyaris mengokohkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Itu juga menjadi cerita dari seorang veteran yang pernah turut bertempur dengan DI/TII. "Alasan mereka untuk berperang berdalih pada perintah agama. Sedangkan kami di tentara hampir-hampir dibuat tidak tega, karena harus berhadapan dengan orang-orang satu agama. Tapi kami juga melihat, negara ini lahir pun tidak lepas dari andil ulama, sehingga kami yakin dengan tugas yang harus kami jalankan--menumpas DI/TII, juga punya alasan agama," cerita veteran tersebut.

Dalih-dalih untuk menentang negara dengan menyeret-nyeret nama agama akhirnya memang tidak berhenti dengan berhasil ditumpasnya DI/TII. Belakangan dalih-dalih begitu masih terus diangkat, dipoles dengan berbagai cara, walaupun lagi-lagi hanyalah membenturkan agama dengan negara.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan beberapa organisasi Islam, belakangan memang terlihat semakin berani menempatkan negara di posisi sebagai lawan karena dianggap tidak menjadikan "perintah Tuhan" sebagai pegangan utama dalam bernegara. Keberanian itu juga membuat pemerintah pun harus memilih langkah berani, dan memilih menutup pintu untuk organisasi tersebut sebelum mereka lebih jauh masuk ke ruang-ruang lebih dalam di sebuah rumah bernama Indonesia.

Organisasi itu dapat dikatakan berani karena memang mereka tidak lagi sungkan-sungkan menunjukkan keinginan mereka untuk "menawarkan"--bahasa halus mereka untuk mengganti--Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sesuatu yang memang sakral (Alquran dan Hadits).

Keberanian tersebut memang tidak lepas dari fakta bahwa ketika seorang pemeluk agama berhadapan dengan sesuatu yang dipandang sebagai bagian keimanan, di sana muncul konflik batin, hingga melupakan hal-hal yang dianggap sekadar urusan duniawi. "Ada akhirat yang jauh lebih penting". Logika itu dibangun, dan dibagilah lewat majelis ke majelis. 

Alhasil, banyak orang terseret untuk meyakini, bahwa negara bukan segalanya karena agamalah yang akhirnya menyelamatkan mereka di realitas dunia lain bernama akhirat--yang notabene, dalam Islam, bagian dari Rukun Iman.

Sedikitnya, HTI juga bermain di ranah doktrin tersebut, sehingga pikiran-pikiran yang mereka tularkan terbilang berhasil. Dari mana mengukur keberhasilan mereka? Apakah dari jumlah pengikut? Tidak akan tercium karena organisasi tersebut diketahui tidak pernah membeberkan secara terbuka berapa pengikut mereka, karena mereka mengklaim tidak memberikan kartu anggota atau identitas tertentu.

Namun ada penelitian yang dilakukan Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada 2017 lalu, yang menunjukkan bagaimana pengaruh organisasi sekelas HTI terhadap kader partai politik. 

PKS yang notabene salah satu partai terbesar yang memiliki 40 kursi dan mencatat 8,4 juta suara pada pemilihan legislatif tahun 2014 lalu, terindikasi punya kedekatan kuat dengan HTI. Pasalnya dalam penelitian dirilis SMRC 34,3% simpatisan partai yang disebut-sebut punya afiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin ini mengaku mendukung HTI.

Lebih berbahaya lagi, karena HTI memiliki kemampuan untuk merangsek hingga ke lini-lini penting pemerintahan--meskipun hal ini ada kemiripan juga dengan modus PKS. Di samping, mereka cukup mampu mem-branding diri sebagai organisasi yang ada hanya untuk membela dan memperjuanngkan agama. Ini tentu saja menjadi branding yang cukup potensial menarik perhatian dan minat pemeluk agama yang mementingkan sampul daripada "isi buku".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun