Hal-hal itu menjadi bahaya karena jika menilik berbagai pemberitaan, tak sedikit yang tercatat akhirnya bergabung ke organisasi sekelas ISIS setelah lebih dulu mendapatkan pembekalan di HTI--terlepas organisasi ini belum pasti punya hubungan langsung dengan ISIS. Jika melihat apa alasan mereka dari HTI mau bergabung dengan ISIS, karena adanya keinginan besar untuk merasakan langsung bagaimana jihad dan membela agama yang lebih greget.Â
Jika melihat dari itu, cukup dapat dilihat bagaimana keberadaan organisasi seperti HTI ini punya potensi membawa daya ledak besar. Mungkin bisa diibaratkan bahwa mereka mungkin hanya sekadar petasan yang awalnya tidak dimaksudkan untuk menghancurkan. Namun jika sejumlah petasan menyatu dan sama-sama meledak, maka bahaya yang dapat ditimbulkan bisa sangat mematikan atau benar-benar membawa bahaya kehancuran.
Ini juga yang sempat disinggung oleh Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict bahwa satu sisi ada kesan bahwa HTI punya kelebihan karena mereka mampu menciptakan kesan bahwa mereka mampu menghormati hukum di negara mereka berada.Â
Di antara "permainan" berbahaya yang dilakukan oleh HTI adalah merekrut orang-orang yang penting yang ada di satu negara di mana mereka berada, entah figur-figur penting yang duduk di pemerintahan atau bahkan di keamanan.
Jika jangkauan mereka sudah menuju ke sana, bukankah ancaman yang pernah ditebar oleh organisasi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), dapat saja terulang lagi, bukan?
Jika merujuk berbagai catatan sejarah tentang PKI, terutama yang paling anyar yakni Gerakan 30 September atau G30S/PKI, adalah keberhasilan organisasi tersebut untuk merangsek hingga ke jantung kekuasaan dan militer. Skenario dimainkan sejatinya tak jauh berbeda juga dengan PKI, terlepas dari sisi kekuatan hukum dan legalitas, PKS terlihat jauh lebih apple to apple dengan PKI.
Sebab, PKS pun jika ditilik-tilik tidaklah sepenuh hati menerima Pancasila dan UUD 1945, lantaran merujuk ke media-media terafiliasi ke mereka seperti Majalah Saksi atau Sabili, masih ada cita-cita terpendam agar Indonesia dapat berwajah berbeda dengan dasar negara berbeda.
Sial bagi HTI karena mereka tidak sejeli PKS dalam menjalankan misi, dan tidak seluwes partai yang lahir dari gerakan Tarbiyah tersebut. Maka itu, saat PKS bisa bekerja dan bergerak langsung dari dalam sistem, HTI hanya dapat berteriak di luar sistem hingga terjungkal tanpa dapat berpegang pada apa yang bisa menyelamatkan mereka--jika diibaratkan seperti orang tenggelam.
PKS di masa sekarang dan PKI di masa lalu dapat dikatakan memiliki kesamaan sebagai partai yang diakui, dan bisa bersaing dengan partai-partai resmi lainnya. Itu menjadi keberuntungan mereka. Selain itu, mereka sama-sama pernah mencatat pengaruh yang luas--walaupun di sini PKI telah diberangus sejak lama. Mereka menjaring kalangan awam hingga mengorganisasikan mereka sampai menjadi kekuatan yang diperhitungkan untuk misi mereka masing-masing. HTI belum dapat bergerak sejauh itu.
Namun apakah PKS akhirnya dapat menjadi jembatan untuk HTI tetap dapat melanjutkan misinya? Ini tergantung lagi pada bagaimana intelijen melihat arah perjalanan organisasi politik tersebut, militer dapat meraba ke mana langkah mereka, atau tidak. Selain, bagaimana mereka dapat menyaru sebaik mungkin, sebab jika tidak tentunya mereka kelak bisa saja bernasib sama dengan DI/TII yang juga punya mimpi yang kurang lebih sama saja, namun gagal dan ditumpas seperti halnya PKI.
Ringkasnya, secara cita-cita HTI masih ada kemiripan dengan PKS, terlepas dalam beberapa hal masih ada titik-titik yang membedakan mereka. Bahwa agama menjadi landasan bergerak, sekaligus "dagangan" yang mesti dipastikan laris. Dengan begitu, mereka kelak dapat menjadikan negeri ini sebagai laboratorium untuk mereka coba-coba mengubah negara menjadi "negara Tuhan", tanpa perlu merasa berdosa, karena Tuhan menjadi beking.***