Barack Obama mungkin terkekeh melihat ulah penghuni negara yang pernah menjadi tempat tinggalnya di usia Sekolah Dasar. Apalagi dia mendapati sebuah cerita yang terjadi persis di sela-sela kunjungannya ke negeri ini; seantero negeri ini ribut hanya karena urusan tas dipakai Iriana Joko Widodo yang notabene first lady di republik ini.
Tapi saya sempat menerka-nerka apa yang akan diobrolkan Obama dengan Michelle Robinson alias Michelle Obama, istrinya, saat tak sengaja membeli koran kuning. Terlebih di sana terdapat berita dengan judul beraroma begini;Â Istri Presiden Pakai Tas Mahal, Para Suami Mendadak Nyinyir; Hanya Gara-gara Ingin Hentikan Protes Istri; Kasihan Deh Lu!Â
Obama mungkin maklum dengan judul berita di koran kuning yang sering kali memang tak suka gaya-gaya kaidah penulisan judul yang terlalu hemat. Ia paham, judul berita superpanjang di koran-koran seperti itu cukup membantu para wartawan mereka tak perlu repot-repot berpikir terlalu lama hingga harus mengernyitkan kening.Â
Mungkin juga Obama tetap membeli koran itu, sebab koran-koran inilah yang membantu banyak orang cukup mengetahui segalanya hanya dengan membaca judulnya saja. Apalagi figur sesibuk Obama, meski tak lagi berstatus presiden, berita-berita efisien yang tak menghabiskan waktu akan menjadi pilihan paling tepat untuknya.
Ya, hanya butuh beberapa detik untuk menuntaskan seisi koran kuning, apalagi jika memang mengandalkan membaca judul berita saja. Apalagi dari ukuran huruf saja, sebagian memakan space hampir setengah halaman, dan itu baru judul.
Jadi jangan heran jika Obama terkekeh bersama Michelle. Meski di depan publik ia akan berusaha tampil seelegan dan sekarismatik mungkin, di depan Michelle, mungkin saja dia akan ber-elu gue dengan istrinya tersebut. Terlebih lagi ia memang pernah jadi "Anak Betawi" meski tak terkenal pintar mengaji--itu hanya kemampuan si Doel saja.
"Lu beruntung, Mih, gue kaga jadi presiden di negeri ini dan lu tak harus jadi istri presiden negeri ini..."
"Lah, kenapa emangnya?"Â
"Lha iya, lu kebayang kaga, jika urusan tas saja bikin koran-koran berkelas atas dan kelas lampu merah sama kompak memberi tempat pada sebagian publik yang rewelnya minta ampun..."
"Emang ada yang rewel di sini? Kan orangnya ramah-ramah?"
"Iyalah say, di sini para buibuk kalah rewel dari bapak-bapak. Di sini kaum enyak gak bisa lagi main klaim bahwa kenyinyiran itu identitas mereka. Di sini, lelakinya bisa lebih parah..."
"Itu faktanya kok! Lu liat saja dah itu habis Lebaran, yang makin lebar malah mulut mereka..."
"Masa sih?"
"Tuh koran kuning yang gue baca barusan cukup mewakili apa yang terjadi di sini. Saat ibu-ibu masih berbicara seputar BIG SALE, bapak-bapaknya tak peduli berstatus politisi, tokoh publik, ribut urusan harga tas istri presiden. Kebayang gak lu kalo harga tas lu dinyinyirin seperti itu?"
"Tapi kan, katanya yang dinyinyirin itu kan karena temen lu, Pak Joko itu pernah ngimbau supaya hidup sederhana?"
"Ah, lu kok jadi sama pikirannya dengan mereka?"
"Yaiyalah, Pak. Kan memang anjurannya begitu, gue liat di Instagram dengan Twitter... Tuh sebagian besar yang memasang embel-embel alumni 212 bilangnya Pak Joko pernah bilang begitu..."
"Tapi ... apa mereka kira sederhananya seorang presiden harus sama sederhana dengan mereka yang kerjaannya main demo saja?"
"Ya embuhlah, Pak."
Iya, obrolan itu fiktif, hanya rekaan saya saja. Kenapa mereka begitu rupa, karena memang angle yang harus saya ambil memang koran kuning. Kenapa koran kuning? Ya karena itu cukup mewakili kualitas kita; bukan hanya Anda yang mungkin terseret ke dalam budaya nyinyir itu, tapi juga saya sendiri kenapa harus memusingkan Anda mau nyinyir atau tidak.
Sebab jika kualitas kita jauh di atas kelas koran kuning itu, yang menjadi obrolan bukanlah soal harga tas dan hal-hal sedangkal yang tersaji di koran-koran yang mudah Anda temukan di lampu merah dan cukup dengan sereceh dua receh. Tapi lebih baik lagi, berdiskusi tentang hal-hal yang jauh di atas itu.Â
Misalnya? Ya bisa dimulai dengan pembicaraan seputar syukur, misalnya. Ya bersyukur, istri Anda dan istri saya, sama-sama belum tergiur untuk meminta tas seharga tas milik Bu Iriana. Toh, istri presiden itu sudah punya uang banyak sejak suaminya belum jadi presiden, wajarlah dia punya tas mahal. Bayangkan jika istri saya yang meminta tas serupa, sementara saya jangankan jadi presiden, jadi lurah pun belum pernah.
Obrolan seperti itu tak membutuhkan proposal kepada dinas atau kementerian manapun, kok. Tak perlu sewa gedung, tidak perlu mengundang ustaz bertarif puluhan juta, dan tak perlu membayar media-media untuk meliput. Cukup dengan membuka WhatsApp, Line, Twitter, dan hamburkanlah kata-kata agak bijak di sana. Misalnya; istri yang baik adalah mereka yang lebih mementingkan tebalnya kasih sayang daripada sekadar tebalnya ukuran kantong.
Rajin menabur obrolan yang lebih positif itu, bukan tak mungkin akan berdampak positif; selain bikin Anda makin dikagumi oleh istri Anda, juga boleh jadi istri tetangga pun turut mengagumi Anda, bukan? Tapi jangan berharap kemungkinan terakhir itu, sebab racun tikus bisa menjadi pengganti kopi pagi yang Anda tenggak saat mata masih mengantuk.
Jika begitu, yang kasihan ya Anda sendiri bukan? Bayangkan jika Anda terbunuh karena menenggak racun tikus karena dinilai nakal, lalu terpampang lagi-lagi di koran kuning. Seorang suami melirik istri lurah; Bernafsu jadiin bini kedua; Diracun Pakai Racun Tikus; Mati Deh!
Bukankah soal kematian terhormat itu salah satunya, ya, tak sampai masuk ke koran kuning. Sebab, di sana Anda justru akan disejajarkan dengan berita pemerkosaan dengan judul beraneka ragam, hingga perampokan. Itu bukanlah berita kematian yang terhormat bukan?
Jadi bagaimana menghindari itu? Ya, hindarilah bicara hal-hal yang sedangkal koran kuning itu. Saya kira sudah cukup.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H