Misalnya? Ya bisa dimulai dengan pembicaraan seputar syukur, misalnya. Ya bersyukur, istri Anda dan istri saya, sama-sama belum tergiur untuk meminta tas seharga tas milik Bu Iriana. Toh, istri presiden itu sudah punya uang banyak sejak suaminya belum jadi presiden, wajarlah dia punya tas mahal. Bayangkan jika istri saya yang meminta tas serupa, sementara saya jangankan jadi presiden, jadi lurah pun belum pernah.
Obrolan seperti itu tak membutuhkan proposal kepada dinas atau kementerian manapun, kok. Tak perlu sewa gedung, tidak perlu mengundang ustaz bertarif puluhan juta, dan tak perlu membayar media-media untuk meliput. Cukup dengan membuka WhatsApp, Line, Twitter, dan hamburkanlah kata-kata agak bijak di sana. Misalnya; istri yang baik adalah mereka yang lebih mementingkan tebalnya kasih sayang daripada sekadar tebalnya ukuran kantong.
Rajin menabur obrolan yang lebih positif itu, bukan tak mungkin akan berdampak positif; selain bikin Anda makin dikagumi oleh istri Anda, juga boleh jadi istri tetangga pun turut mengagumi Anda, bukan? Tapi jangan berharap kemungkinan terakhir itu, sebab racun tikus bisa menjadi pengganti kopi pagi yang Anda tenggak saat mata masih mengantuk.
Jika begitu, yang kasihan ya Anda sendiri bukan? Bayangkan jika Anda terbunuh karena menenggak racun tikus karena dinilai nakal, lalu terpampang lagi-lagi di koran kuning. Seorang suami melirik istri lurah; Bernafsu jadiin bini kedua; Diracun Pakai Racun Tikus; Mati Deh!
Bukankah soal kematian terhormat itu salah satunya, ya, tak sampai masuk ke koran kuning. Sebab, di sana Anda justru akan disejajarkan dengan berita pemerkosaan dengan judul beraneka ragam, hingga perampokan. Itu bukanlah berita kematian yang terhormat bukan?
Jadi bagaimana menghindari itu? Ya, hindarilah bicara hal-hal yang sedangkal koran kuning itu. Saya kira sudah cukup.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H