"Itu faktanya kok! Lu liat saja dah itu habis Lebaran, yang makin lebar malah mulut mereka..."
"Masa sih?"
"Tuh koran kuning yang gue baca barusan cukup mewakili apa yang terjadi di sini. Saat ibu-ibu masih berbicara seputar BIG SALE, bapak-bapaknya tak peduli berstatus politisi, tokoh publik, ribut urusan harga tas istri presiden. Kebayang gak lu kalo harga tas lu dinyinyirin seperti itu?"
"Tapi kan, katanya yang dinyinyirin itu kan karena temen lu, Pak Joko itu pernah ngimbau supaya hidup sederhana?"
"Ah, lu kok jadi sama pikirannya dengan mereka?"
"Yaiyalah, Pak. Kan memang anjurannya begitu, gue liat di Instagram dengan Twitter... Tuh sebagian besar yang memasang embel-embel alumni 212 bilangnya Pak Joko pernah bilang begitu..."
"Tapi ... apa mereka kira sederhananya seorang presiden harus sama sederhana dengan mereka yang kerjaannya main demo saja?"
"Ya embuhlah, Pak."
Iya, obrolan itu fiktif, hanya rekaan saya saja. Kenapa mereka begitu rupa, karena memang angle yang harus saya ambil memang koran kuning. Kenapa koran kuning? Ya karena itu cukup mewakili kualitas kita; bukan hanya Anda yang mungkin terseret ke dalam budaya nyinyir itu, tapi juga saya sendiri kenapa harus memusingkan Anda mau nyinyir atau tidak.
Sebab jika kualitas kita jauh di atas kelas koran kuning itu, yang menjadi obrolan bukanlah soal harga tas dan hal-hal sedangkal yang tersaji di koran-koran yang mudah Anda temukan di lampu merah dan cukup dengan sereceh dua receh. Tapi lebih baik lagi, berdiskusi tentang hal-hal yang jauh di atas itu.Â