Bahkan jika melihat murid dengan tabiat paling menjengkelkan pun, beliau sering memilih menarik napas panjang, diam seraya menatap murid tersebut, dan kebandelan murid itu mereda sendiri. Ya, anak-anak terkadang lebih mudah diketuk hatinya dengan sorot mata kasih sayang saja, dan ia luluh sendiri.
Sudah hampir 30 tahun saya tak pernah lagi bersitatap dengan Bu Guru saya itu. Entah beliau akhirnya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataukah beliau memilih mundur. Sebab, seingat saya, beliau waktu itu memang hanya berpendidikan sampai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang hanya setara SMA.
Tapi, cerita punya cerita, nasib yang pernah dialami guru saya dulu masih terjadi hingga hari ini.
Ya, seorang teman, dulu dia paling sering datang ke rumah saya hanya untuk belajar bersama. Dia memilih saya sebagai teman belajar karena pesan bapaknya yang sering membuat hidung saya kembang kempis sendiri. "Jika kau ingin jadi murid cerdas, bertemanlah dengan yang sering jadi juara di kelas," jadilah dia memilih saya sebagai teman diskusi, belajar, sesekali bicara seputar pacar--zaman SMP.
Belakangan, teman saya ini pun harus bertarung tak jauh bedanya dengan guru saya dulu. Berbekal sepeda motor pemberian orangtuanya, dia merambah desa yang masuk kawasan pelosok.
Dia harus melewati sungai dengan menaikkan motornya ke rakit lebih dulu untuk dapat tiba ke sekolah dia mengajar. Terkadang, jika musim hujan, tak jarang ia harus pulang lagi setelah berjalan puluhan kilometer dengan motornya. Ya, rakit yang biasa membantunya menyeberang sering hanyut jika air sedang naik di malam hari.
Maklum, rakit itu pun hanya terbantu dengan seutas kabel yang galah. Tanpa mesin, kecuali hanya mengandalkan kencangnya arus, dan dorongan galah di tangan pekerja rakit tersebut.
Dia sering bercerita kepada saya seperti apa perjalanannya mengabdi. Dia harus melupakan hitung-hitungan berapa uang untuk bensin harus dihabiskan setiap bulannya. Atau, bagaimana sulitnya ia jika di tengah hutan mengalami ban bocor.
"Ya, kita jalani saja apa yang sudah digariskan Tuhan. Toh, Tuhan pasti takkan menutup mata atas semua yang kita lakukan," katanya, seperti sedang berusaha membesarkan hati sendiri.
Sekarang, di Indonesia terdapat guru honorer alias Guru Tidak Tetap (GTT) mencapai angka 1,2 juta, dari 2,9 juta guru yang ada di negeri ini. Setidaknya begitulah disampai Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy, per Februari lalu, berdasarkan berita di Tempo.co.
Kabarnya, akan ada prioritas agar para guru honorer itu mendapatkan pengangkatan, terutama yang mengajar di pedesaan dan pedalaman. Apakah hari ini sudah terealisasi.