[caption caption="Ada sejuta lebih guru honorer dan nasib mereka belum jelas - Gbr: Ijolumoet.info"][/caption]Mereka mengajar sebagaimana guru umumnya mengajar, tapi status honorer membuat nasib mereka tak seperti umumnya guru. Hari ini, bagaimana kabar guru honorer?
Itulah yang terbetik di benak saya. Tak lain karena saya adalah salah satu saksi yang melihat langsung perjuangan guru-guru berstatus honorer itu sejak masih di Sekolah Dasar.
Di masa kecil saya, para guru honorer itu benar-benar tak dapat berharap banyak dari gaji. Sebab, gaji mereka sendiri acap kali lebih kecil daripada jumlah uang jajan anak-anak muridnya dari kalangan orang berada.
Terkadang, guru honorer di masa SD saya itu mencari meja rusak dan tak terpakai, mereka perbaiki, kemudian dijadikan tempat untuk berjualan. Ada jajanan seperti bihun atau makanan ringan lainnya yang dijual rata-rata seharga Rp 25 sampai Rp 50 kala itu.
Berapa mereka dapat keuntungan dari sana? Hanya beberapa ratus rupiah saja. Ya, itu zaman saya SD ketika rupiah masih "wah". Ketika harga emas per gram masih seharga belasan ribu rupiah.
Ketika jam mengajar, para guru honorer itu tetap masuk untuk mengajar. Kecuali sedang benar-benar sakit, barulah mereka absen dan tak bisa mengajar. Apakah ketika mereka sakit lantas uang gaji cukup untuk berobat?
Saya kira, jika obat yang dibutuhkan cukup dengan obat yang dijual bebas untuk sakit kepala dan mencret di warung-warung, mungkin gaji itu cukup. Tapi jika mereka harus dioperasi, masuk rumah sakit, mereka mungkin harus menunggu Tuhan melunak hingga mukjizat tak hanya menjadi milik para nabi.
Jika tak ada mukjizat itu, mereka hanya berharap dari semangat yang terpancing dari kecintaan mereka dan rindu pada mata polos anak-anak. Itulah kenapa sebagian guru honorer itu lantas tetap memilih mengajar meski badan mereka sakit-sakitan.
Bu Sum menjadi salah satu guru honorer yang melekat kuat di benak saya. Beliau memiliki cacat pada matanya, jika bertatap muka dengan murid-muridnya, sebagian mata hitamnya nyaris hilang. Ya, beliau (maaf) bermata juling.
Saya sering merasa ngilu melihat beliau membaca buku, dan menerangkan kepada murid-muridnya. Belum lagi, kehidupan beliau betul-betul tak dapat disebut sejahtera. Ke sekolah saja, beliau harus berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya.
Beliau nyaris tak pernah marah kepada murid-muridnya. Padahal kelelahan beliau saat harus berjalan dari rumah ke sekolah, cukup jadi alasan meluapkan marah kepada murid yang rata-rata memiliki kebandelan tersendiri. Tapi beliau sering memilih tidak marah.