***
Anggap saja itu hanya prasangka buruk saya saja. Tapi perlu juga disimak lagi bagaimana konsekuensi dari sebuah pernyataan, sebuah janji. Mungkin dapat saja itu hanya sekadar janji, karena Anies pun takkan cukup berani menggerogoti uang daerah karena ada lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi yang siap memamahnya jika terlalu nekat. Tapi janji tersebut takkan sepenuhnya dapat dihindari.
Sejauh ini, dari ormas terdaftar saja, hanya terdapat 10 ormas yang terdaftar di Pemprov DKI. Di sisi lain, ditambah ormas yang belum terdaftar, terdapat tak  kurang dari 52 ormas terdapat di Jakarta--menurut catatan Viva.co.id.Â
Di era Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saeful Hidayat, mereka memang cenderung ketat terhadap ormas, meski mereka menyadari jika hal itu justru berdampak buruk bagi mereka. Pasalnya, mereka rentan mendapatkan antipati dari masyarakat yang bergabung di ormas tertentu, sementara di sisi lain mereka pun seperti halnya Anies, membutuhkan suara di Pilkada, terutama putaran kedua.
Djarot sendiri sempat mengeluhkan jika Ormas selama ini banyak yang hanya berbekal papan nama organisasi, dan mengandalkan itu untuk membawa proposal. Pihaknya  justru ingin membatasi hal itu terjadi.
Di sini jelas ada dua sikap berbeda dari para petarung di Pilkada DKI. Kubu Anies sudah mengiming-imingi bantuan sejak belum terpilih, sedangkan kubu Ahok-Djarot justru bersikeras untuk "tidak memanjakan" ormas.
Sikap kubu Ahok-Djarot tentu saja bukan kabar baik bagi sebagian ormas, lantaran hal itu bisa menjadi penghalang bagi mereka untuk "bermain" lewat proposal. Di sini hanya Anies yang berpotensi memanjakan mereka.
Pertanyaan, sikap mana yang ideal dan mendidik? Apakah iming-iming uang bukan sebuah pembodohan serius, dan bahkan rentan membuat sebagian masyarakat termanjakan  hanya bermodalkan nama ormas tertentu?
Jawaban untuk itu tentu saja kembali ke diri sendiri.Â
Saya pribadi berpikir, bukan waktunya bagi calon pemimpin selalu menggoda uang demi kepentingan politik, apatah lagi menggodanya bukan dengan uang sendiri.Â