Apalagi bukan rahasia, di Indonesia, apa yang diinginkan partai tak bisa lepas dari apa yang jadi kepentingan dan keuntungan partai. Sedikit bergeser dari kepentingan mereka, maka pilihannya hanya dua; jika bukan kawan maka ia lawan, meski kawan dan lawan dalam politik memang sangat lentur.
Tapi, apa yang dialami Basuki Tjahaja Purnama di DKI Jakarta saat memilih sikap berbeda dengan Gerindra, betapa dia diserang dari segala penjuru. Tak cukup senjata politik saja, mereka melakukan berbagai cara untuk menjatuhkannya, termasuk membawa-bawa isu agama dan rasisme.
Emil bukan Ahok. Emil tetap dengan karakter khasnya. Ia nyaris tak pernah menunjukkan sikap keras ke partai manapun, tapi tetap tegas dengan pendirian.
Langkah Emil cenderung lebih "soft" dibandingkan Ahok yang lebih berkarakter petarung dan kerap mengundang kehebohan. Tapi, dalam sepak bola, gol tak selalu terjadi karena tembakan keras, tapi yang terpenting tepat dan terukur.
Jadi, langkah Emil menjemput bola, dengan tetap menjaga ketenangannya, mudah-mudahan takkan keliru. Persoalannya, bagaimana partai-partai di Jawa Barat menunjukkan niat baik mereka untuk masyarakat di provinsi setempat, menjadi kabar yang tak hanya ditunggu Emil, tapi juga dinanti masyarakat setempat, dan juga rakyat Indonesia yang melihat sosok tersebut sebagai pembawa pembaruan di tengah kebusukan politik dan birokrasi Indonesia.
Atau, boleh jadi, partai politik di sana mengikuti rencana Ahmad Heryawan yang ingin mencalonkan istrinya sebagai gubernur? Mungkin saja, tapi itu hanya untuk bahan diskusi di acara lawakan saja.* (Sumber Foto: CikalNews. SuratKabar.ID)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H