[caption caption="Partai politik lebih mementingkan figur yang bisa membawa keuntungan partai daripada rakyat? Fenomena Ridwan Kamil menunjukkam itu - Gbr: CikalNews "][/caption]Sejak hari Minggu 19 Maret lalu, hanya Partai Nasional Demokrat yang berani mengambil langkah cepat, memastikan mengusung Ridwan Kamil (Emil) sebagai calon gubernur Jawa Barat pada 2018 nanti. Perdebatan pun muncul, dari soal partai pendukung yang dinilai lemah, hingga "nilai jual" Emil sendiri yang juga ada yang mengklaim masih rendah.
Tak kalah sengit juga, kenapa partai-partai yang lebih kuat terkesan kurang yakin mendukungnya?
Dalam pengakuan Ridwan Kamil sendiri, sebelum NasDem menyatakan keputusan mendukungnya, ia pun sudah sempat membicarakan kemungkinan ia maju pada Pilkada Jabar tahun depan.
Dari beberapa partai itu terdapat PKS, Gerindra, PDIP, Hanura, hingga PPP, namun lagi-lagi hanya NasDem yang terlihat paling bersemangat mendukungnya.
Dari seluruh partai itu, yang paling signifikan sejatinya adalah PDIP, lantaran merekalah yang terbilang paling kuat. Terbukti, di DPRD Jabar, partai "Moncong Putih" tersebut menguasai tak kurang dari 20 kursi. Sementara NasDem, hanya memiliki tak lebih dari lima kursi.
Kasarnya, dari amunisi yang ada, peluru untuk Ridwan Kamil bertempur terbilang masih sedikit. Malah, dapat dikatakan teramat sedikit.
Tapi, saya termasuk yang meyakini jika senjata banyak tak selalu menjanjikan kemenangan, dan sedikit amunisi tak lantas berarti kehilangan harapan untuk menang.
Dalam dunia sepak bola, Real Madrid yang kaya raya dan ditopang modal teramat besar tak selalu mampu menjuarai Liga Champions. Paris Saint-Germain dan Manchester City yang juga berangkat dari uang berlimpah pun ngos-ngosan saat berlaga di kompetisi elite.
Itu menjadi contoh terdekat bahwa pertarungan dan kemenangan tak selalu menuntut modal besar atau dukungan terlalu "wah".
Toh, Leicester City di Liga Primer bisa jadi juara domestik, dan bisa menyingkirkan klub sekelas Sevilla--klub lima besar terkaya di Liga Spanyol--di Liga Champions. Ini petunjuk lain, bahwa kemenangan itu misterius, tapi sialnya memang, politik jauh lebih misterius.
Bagi Emil, situasi itu pun diperparah lagi dengan sikap sebagian kalangan yang menanggapi keputusannya dengan sinis, lengkap dengan berbagai tudingan.