Politik dan intrik hingga strategi licik memang menjadi hal yang sulit terpisah. Jauh sebelum Niccolo Machiavelli menawarkan jurus segala cara, praktik itu sudah ada, dan langgeng setelah menembus pergantian waktu hingga ke depan muka kita: Pilkada DKI Jakarta.
Dari berbagai hal paling mengemuka, sedikitnya ada beberapa fakta buruk terpampang di Jakarta saja. Di daerah lain yang juga mengadakan Pilkada serentak tahun ini, terbilang tak sesengit yang terjadi di DKI.
Beberapa fakta buruk itu tak lepas dari dua hal, pelaku politik dan para pendukung di belakangnya.Â
1. Diskriminasi
Diskriminasi menjadi hal paling menonjol sepanjang pergulatan masing-masing kubu menuju DKI-1. Itu terjadi jauh sebelum putaran pertama dan bertahan hingga ke putaran kedua.
Persoalan satu pemeluk agama merasa lebih berhak dipilih jadi gubernur, satu etnis lebih pantas dari etnis lain, merupakan pemandangan cukup telanjang sepanjang kontes Pilkada DKI kali ini. Di sini, pemerintah belum menunjukkan satu langkah tegas untuk mengantisipasi, kecuali imbauan menurunkan spanduk bernada agitasi dan teror, dan ini pun baru muncul belakangan ini.
2. Pelecehan konstitusi
Dalam konstitusi jelas, semua warga negara di Indonesia memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun, lagi-lagi marak terjadi, berdalih pada agama lantas satu pihak leluasa melecehkan pihak lainnya.Â
Terutama, saat kalangan mayoritas dikompori segelintir kalangan yang berkepentingan melempar propaganda bahwa memilih gubernur dari agama berbeda maka akan berujung neraka, murka Tuhan.Â
Sedikit sekali kampanye balasan bahwa murka Tuhan justru lebih rentan terjadi pada pelaku keburukan, terlepas orang itu berasal dari agama manapun. Bahwa, jika pisau dapur saja bisa menjadi petaka jika jatuh ke tangan yang tidak tepat. Lagi serentetan kasus korupsi menjadi bukti, karena uang sajalah semua mereka merasa seagama.
Sayang sekali, lagi-lagi pemerintah terlalu memilih langkah persuasif, sehingga tindakan tegas nyaris tak terlihat untuk menunjukkan bahwa negara ini berpegang pada konstitusi bukan meletakkan aturan satu agama di atas aturan agama lainnya, atau pemeluk satu agama di atas pemeluk agama lainnya.Â